Memahami Perilaku Korupsi

Perilaku Korupsi


Perilaku korupsi sudah mendarah daging dalam tubuh bangsa Indonesia sejak bangsa ini mengalami kemerdekaannya dan lepas dari cekraman kolonialisme. Korupsi telah menjadi penyakit yang menggerogoti dan menghancurkan bangsa ini selama setengah abad lebih. Puncaknya adalah masa pemerintahan Orde Baru.

Melalui mekanisme kekuasaan, korupsi disemaikan, ditumbuh suburkan dan dikulturkan dalam berbagai bidang kehidupan sampai akhirnya menjadi mentalitas bangsa yang kemudian meruntuhkan rezim Orde Baru itu sendiri. Korupsi nyaris sempurna terjadi pada setiap lapisan dan kelompok sosial di Indonesia. Inilah yang membuat korupsi di negeri ini sulit diberantas.

Perilaku korupsi/manipulasi uang dapat dikaji dari sudut pandang lingkungan atau tempat terjadinya perilaku tersebut, beberapa instansi pemerintah misalnya dikenal memiliki “reputasi” tertentu dalam hal korupsi yang dilakukan oleh karyawannya. Namun demikian, bukannya tidak ada lingkungan kerja tertentu di perusahaan swasta yang tidak mendukung munculnya korupsi. Mungkin yang berbeda dengan fenomena di birokrasi pemerintahan adalah jenis penyebabnya.

Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya korupsi/manipulasi uang adalah:
a). Faktor Individu:
  1. Kemiskinan pelakunya.
  2. Kelihaian pelakunya.
  3. Penggunaan teknologi canggih yang mempermudah korupsi.
b. Faktor Kelompok:
  1. Lemahnya pengawasan dari atasan.
  2. Atasan tidak mampu melaksanakan fungsinya.
  3. Atasan kurang berani bertindak tegas pada bawahan korupsi.
  4. Ketiadaan/kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci.
  5. Kohesivitas kelompok yang tinggi.
  6. Persaingan yang ketat.
c). Faktor Pekerjaan dan Organisasi:
  1. Gaji/penghasilan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dasar.
  2. Sistem alih tugas jabatan tidak diterapkan secara konsisten.
  3. Tidak adanya hukuman/sanksi yang keras.
  4. Adanya kesempatan.
d). Faktor Luar Organisasi (Lingkungan):
  1. Lemah/kurangnya pendidikan, pengajaran agama dan etika.
  2. Feodalisme, unsur tidak menggugah kesetiaan & kepatuhan.
  3. Langkanya lingkungan yang subur bagi perilaku anti korupsi.
  4. Terjadinya perubahan radikal dalam struktur masyarakat.
  5. Budaya patrimonial.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi:
a). Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
b). Opportunities (kesempatan): berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
c). Needs (kebutuhan): berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
d). Exposures (pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.

Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya). Secara garis besar, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu:
  1. Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.
  2. Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.
  3. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.
Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme.

Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).

Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.

Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi, definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.

Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut:
  1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
  2. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
  3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbale balik.
  4. Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan hukum.
  5. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
  6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum.
  7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
  8. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.
  9. Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.
Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan, bahkan dari masyarakat dan para pemerhati / pengamat masalah korupsi banyak memberikan sumbangan pemikiran dan opini strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara represif antara lain:
  1. Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana yang keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura. Carrot adalah pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup untuk hidup dengan standar sesuai pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya, sehingga dapat hidup layak bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”. Sedangkan Stick adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani korupsi, maka hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan sedikitpun untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.
  2. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
  3. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
  4. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
  5. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.

Sumber:
  • Alatas, Syed Hussein, 1981. Sosiologi Korupsi, Jakarta: LP3ES
  • Alatas, Syed Hussein, 1987. Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi, Jakarta: LP3ES
  • Alatas, Syed Hussein, 1999. Corruption and Destiny of Asia, Simon and Schuster, Malaysia.
  • Lubis, Mochtar dan James C. Scott, 1985. Bunga Rampai Korupsi, Jakarta: LP3ES

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Memahami Perilaku Korupsi"

Post a Comment