Inilah Sejarah Korupsi di Indonesia

A. SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA

Sejarah Korupsi

Istilah korupsi baru menjadi persoalan ketika terdapat pembedaan yang jelas antara individu sebagai pejabat dengan individu sebagai pribadi. Dalam konteks ini korupsi menjadi persoalan ketika seorang pejabat tidak lagi dibenarkan menggunakan dana-dana publik guna memenuhi kepentingan pribadi.

Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar.

Korupsi berawal dari proses pembiasaan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di negara kita.

Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang? Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal usul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah- daerah di nusantara masih mengenal system pemerintah feodal, atau sederhananya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada dinusantara masih terdiri dari kerajaan- kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan.

Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalui 3 fase sejarah, yaitu:

1. Fase Zaman Kerajaan
Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, di latar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatus sejarah masyarakat indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno( Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten, dll), mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasaan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri, telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja kita lihat bagaimana kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan. Mulai dari prabu Anusopati, prabu Ranggawuni, hinggs prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya.

Hal yang sama juga terjadi dikerajaan majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro, dan lai-lain. Bahkan kita ketahui kerajaan majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal denga perang paregreg yang terjadi sepeninggalan Maha Patih Muda. Lalu kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dan Haryo Panangsang. Dan ada juga kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso.

2. Fase Zaman Penjajah
Pada zaman penjajah, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas kedalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah kolenial(terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembangdikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah administratif tertwntu, semisal demang (lurah), temenggung(setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah.

3. Fase Zaman Modern
Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajah. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, serta merta lenyap begitu saja. Salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah mulai di era orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan orde baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana- mana semakin terbuka. Alhasil, Indonesia sendiri berhasil menjadi salah satu negara terkorup didunia bahkan hingga saat ini.

Setidaknya ada empat dampak korupsi bagi indonesia (Holloway,2002:61-62), yakni hilangnya modal sosial, hilangnya modal finansial, hilangnya modal fisik, dan hilangnya modal manusia. Akhirnya dampak-dampak korupsi dalam jangka panjang akan akan membuatsumber daya manusia mempunyai kualitas rendah. Indonesia juga bisa kehilangan modal sumberdaya manusia yang unggul.

Selanjutnya, jika implikasi korupsi ini ditarik pada wilayah global, dalam pengertian persaingan antar negara, maka korupsi telah membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lemah dan tidak kompetitif.

Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.

B. ERA ORDE BARU

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto.

Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

C. ERA REFORMASI

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas.

Sejak reformasi digulirkan, kata korupsi, kolusi, dan nepotisme(KKN) menjadi kata yang paling sering disebut. Bahkan dapat dikatakan, KKN menjadi salah satu agenda reformasi yang paling utama disamping demokratisasi.dan otonomi daerah.

Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi.

Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat.

Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat.

1. Kekerasan Struktural
Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh negara dan penjabat pemerintahan terhadap masyarakat. Betapa tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban devisit anggaran negara semakin bertambah. Masyarakat cenderung dipaksa untuk menerima keadaan ini, meski ambruknya sistem ekonomi kita ini adalah akibat dari ulah para pejabat yang merampok uang negara demi kepentingan pribad, kelompok dan golongan masing-masing. Intinya masyarakat dipaksa untuk menganggung beban yang tidak dilakukannya.

Korupsi dikatakan sebagai bentuk kekerasan struktural, sebab korupsi yang dilakukan oleh para pejabat merupakan bentuk penyelewengan terhadap kekuasaan negara, diman korupsi lahir dari penggunaan otoritas kekuasaan untuk menindas, merampok dan menghisap uang rakyat demi kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi negara untuk melayani kepentingan rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap bagi rakyatnya sendiri. Relasi politik yang terbangun antara masyarakat dan negara melalui pemerintah sungguh tidak seimbang. Hal ini berakibat kepada munculnya aristokrasi baru dalam bangunan pemerintahan kita.

Negara dituding telah dengan sengaja menciptakan ketimbang sosial dalam kehidupan masyarakat. Kemiskina yang semakin meluas, antrian panjang barisan pengangguran, tidak memadai gaji dan upah buruh, anggaran sosial yang semakin kecil akibat pencabutan subsidi(pendidikan, kesehatan, listrik, BBM, telepon,dll) adalah deretan panjang persoalan yang yang menghimpit masyarakat sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin sulit. Bukankah ini akibat dari KKN yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah kita yang korup?

Salah satu fakta penting yang mencengangkan adalah, pemerintah bahkan dengan lapang dada telah suka rela melunasi hutang-hutang negara yang telah dikorup oleh pejabat-pejabat pemerintah orde baru dulu. Membebankan dengan memilih mencabut anggaran dan subsidi sosial bagi masyarakat. Membebankan dengan semakin terpuruknya nasib dan kehidupan masyarakat. Sungguh tidak adil.

2. Mengembalikan kepercayaan
Tidak bisa kita pungkiri bahwa tingkat praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat negara, menjadikan masyarakat menarik dukungannya terhadap pemerintah. Kepercayaan serta harapan masyarakt terhadap pemerintah bisa dikatakan semakin menurun, bahkan cenderung apatis terhadap pemerintah beserta apatur-apatur hukumnya(polisi, jaksa, hakim, dll) selama ini, pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah terkesan berjalan dengan lamban. Berbelit-belit dan sangat birokratisnyatakan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan , menjadi salah satu faktor mendasar penyelesaian sebuah kasus.

Semisal, pemeriksaan seorang pejabat legislatif (anggota DPRD) yang harus menunggu izin dan keputusan dari Menteri dalam negri, atau pejabat pemerintah daerah yang harus menunggu persetujuan persetujuan presiden dll, menjadi salah satu kendala utama yang harus mampu pemerintah carikan solusi yang tepat. Pemerintahan dalam hal ini dituntut untuk membuat kebijakan yang bertujuan untuk mempelancar proses pemberantasan korupsi sehingga dapat berjalan cepat, efesien tanpa harus dihalangi oleh aturan-aturan yang terlampau birokratis.

Sejak priode pertama kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, program pemberantasan korupsi konon menjadi prioritas utama dalam program kerja pemerintahnya. Upaya ini harus kita apresiasi akan tetapi belum dapat dikatakan membanggakan sebab meskipun di era pemerintahan SBY telah berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibat pejabat-pejabat negara (misal, kasus KPU, kasus Bulog, kasus Abdullah Puteh di Aceh dan lainya) namun upaya pemberantasan korupsi ini belum mampu menyentuh para koruptor- koruptor kakap (dari era Soeharto sampai sekarang ) yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran tanpa pernah sedikitpun tersentuh oleh hukum.

Jika pemerintah mampu memberikan bukti nyata dari komitmen pemberantasan korupsi, maka kepercayaan masyarakatpun akan kembali pulih, bahkan mungkin akan mengambil peran aktif dalam setiap masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara. Namun sebaiknya, jika pemerintah lamban dan gagal dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk menuntaskan kasus- kasus korupsi yang ada, maka rakyat akan jauh semakin jauh meninggalkannya. Apajadinya sebuah pemerintahan tanpa dukungan dari masyarakat.

3. Upaya pemberantasan dan pembasmian korupsi
Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi korupsi ini, bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan dan penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral seseorang. Namun upaya korupsi harus secaramendalam menutup akar penyababnya melalui beberapa aspek antara lain:
  • Pertama, negaramelalui pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat secara menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan ekonomi. Negara dalam hal ini bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan- kebutuhan hidup masyarakat, bai secara batin maupun lahiriah, primer maupun skunder, fisik dan non fisik secara seimbang. Jika kehidupan masyarakat terus menerus didera dengan kemiskinan maka keinginan untuk mencari jalan pintas demi memperkaya diri, akan terus muncul dan berkembang dalam pikiran masyarakat kita. Sebab masalah korupsi bukan hanya masalah penegakan dan kepastian hukum saja, namun masalah korupsi juga integral dengan masalah sosial, ekonomi dan politik.
  • Kedua, membangun sistem kekuasaan yang demokratis. Seperti yang telah di tegaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa perilaku korup juga turut di topang oleh sistem yang mendorongnya. Jika kekuasaan berwujud sentralistik, otoriter dan menindas, maka bukan tidak mungkin korupsi akan terus menerus terjadi. Kita memerlukan sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, tidak anti kritik, serta memiliki wujud penghormatan yang tinggi terhadap masyarakat sipil. Prinsip utama “good Governance”, yang mencakup Akuntabilitas, Transparasi dan Partisipatif dll, harus benar-benar mampu diejahwantahkan dalam kehidupan bernegara bermasyarakat.
  • Ketiga, membangun akses kontrol dan pengawasan masyarakat terhadap pemerintah. Penanganan masalah korupsi ini tidak bisa dilakukan dengan cara memusatkan kendali pada satu badan atau menyerah penanganannya pada pemerintah saja. Sebab hal tersebut cenderung berjalan linear dan non struktural. Dalam arti apakah mungkin pemerintah akan efektif memeriksa pejabatnya sendiri. Persoalan ini hanya akan terkomodasidalam konteks kekuasaan otoritarian. Dalam sebuah struktus kekuasaan negara yang egaliter, masyarakat diberikan akses kontrol terhadap kekuasaan sehingga fungsi pengawasan secara horizontal antar sktruktur yang sejajar, maupun pengawasan akan berjalan seimbang dengan kontrol yang tajam terhadap penyelewengan.  Salah satu bentuk kekhawatiran terhadap hal tersebut adalah, tingkat kepercayaan yamng terlalu besar masyarakat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK). Hal tersebut justru dapat berubah menjadi boonerang terhadap kinerja lembaga ini, yang tak lain merupakan wujud representatif pemerintahan. Penanganan korupsi ini, memang tidak boleh hanya bergantung kepada KPK saja, akan tetapi lembaga-lembaga hukum negara sepeti kejaksaan dan kepolisian, juga harus mampu memaksimalkan fungsi dan perannya masing-masing, termasuk mendorong maju kesaddaran terhadap upaya pemberantasan korupsi.
  • Keempat, penguatan institusi-institusi aparatur penegakhukum. Kejujuran penegak hukum, harus mulai dibangun secara kuatterutama di kalangan perangkat kriminal justice system(CJS), yang menjadi tumpuan utama dalam memberantas korupsi dinegara kita . hal ini dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efesien. Kredidibilitas aparatur hukum kita, dituntuy untuk lebih berlaku adil, objektif dan tidak berpihak dalam memandang serta memilih-milih kasus. Kasus seorang koruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara cepat, layaknya penyelesaian kasus seorang pencuri ayam yang relatif tidak membutuhkan waktu yang lama. Disilah di tuntut keprofesionalan para penegak hukum kita, jika pemerintah menginginkan penyelesaian kasus korupsi secara efektif.
  • Kelima, perbaikan sistem dan mutu pendidikan. Hal ini memungkinkan untuk menamankan prilaku yang bersih, jujur, dan bertanggung jawab bagi siswa-siswa sekolah sedari dini. Prilaku pengajar para (dosen, guru, dll) juga harus ikut diperbaiki. Selama ini tak jarang dari pemilik gelar”pahlawan tanpa tanda jasa” tersebut justru memberikan contoh yang buruk kepada anak didiknya, yang kelak akan diadopsinya oleh anak didik tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja, jual ijazah dan nilai, bisnis buku dan modul pelajaran, pungutan liar hingga cara mengajar yang kaku, otoriter dan cenderung menekan anak-anak didiknya . jika hal tersebut tidak mampu kita praktekkan secra serius, maka tidak ada jaminan bahwa prilaku korup masyarakat indinesia akan hilang dengan sendirinya. Bahkan justru akan semakin subur tanpa dapat kita atasi bersama-sama.
Fenomena korupsi sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Disejumlah negara lainpun korupsi menjadi persoalan yang rumit. Di negara maju sekalipun korupsi juga menjadi masalah. Korupsi terjadi di seluruh negara, tetapi fenomena yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi sesuatu yang sistematik. Di Indonesia korupsi sudah dianggap sebagai kenyataan hidup. Korupsi justru dianggap sebagai salah satu bentuk cara bertahan hidup.

Untuk memenangkan tender suatu proyek, seorang pengusaha harus memberi pelicin, untuk mengurus surat-surat dikelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi hingga pusat seseorang harus mengeluarkan uang ekstra. Tanpa itu jangan berharap surat-surat yang diurus akan selesai dengan cepat.

Dengan demikian korupsi telah memasuki tahap yang kompleks. Korupsi telah melanda seluruh lapisan pemerintah, mulai dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi, mulai dari lembaga eksekutif hingga lembaga yudikatif.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika banyak kalangan menganggap bahwa korupsi di Indonesia tidak hanya menjadi semacam cara bertahan hidup, tetapi telah menjadi bagian dari budaya. Dalam ungkapan sederhana korupsi telah men-sistem di negeri ini.

DAFTAR PUSTAKA
  • Abdullah, Taufik. 1999.”Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme: Sebuah Pendekatan Kultural”dalam menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia. Penyunting: Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti, BPP PP Muhammadiyah.
  • Ahimsha-Putra, Shri Eddy. 2002. “Korupsi di Indonesia: Budaya atau Politik pemaknaan?” Jurnal Wacana, Edisi 14 Tahun III 2002.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Inilah Sejarah Korupsi di Indonesia"

Post a Comment