Latar Belakang Perundang-Undangan Korupsi
Latar Belakang Lahirnya Delik Korupsi Dalam Perundang-Undangan Korupsi
Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi perlu melahirkan suatu peraturan perundang-undang yang mampu menerapkan ketentuan yang diatur di dalam undang-undang tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong para penegak hukum yang berwenang untuk memberantas korupsi dengan cara yang lebih tegas, beran dan tanpa memandang bulu. Akan tetapi, di samping peraturan yang tegas juga diperlukan kesadaran masyarakat dalam memberantas korupsi tersebut. Namun kesadaran ini dapat timbul apabila masyarakat memiliki pegetahuan dan pemahaman tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang diatur oleh undang-undang.
Tindak pidana korupsi merupakan suatu bentuk prilaku kejahatan yang dapat merugikan negara, moral bangsa, hak asasi dan perekonomian. Orang yang melakukan korupsi harus di hukum sesuai dengan peraturan undang-undang yang telah ditetapkan, Dan juga sesuai dengan kejahatan yang telah diperbuat. Korupsi sendiri dapat membawa dampak negatif yang sangat besar dan juga membawa negara pada titik kehancuran.
Ada 2 bagian dalam perundang-undangan korupsi terkait lahirnya delit-delit korupsi yaitu:
Delit Korupsi Yang Dirumuskan Oleh Pembuat Undang-Undang
Adapun delik yang dirumuskan oleh pembuat undang-undang adalah delik-delik yang dibuat dan dirumuskan secara khusus sebgai delik korupsi oleh para pembuat undang-undang. Delik ini dibuat atau dirumuskan hanya meliputi 4 pasal saja di antaranya yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 13, dan Pasal 15 undang-undang nomor 31 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, beberapa kasus dapat dikategorikan sebagai simbol pemberantasan korupsi, baik sebagai kegagalan maupun sebagai keberhasilan.
Delik korupsi yang diambil dari KUHP, dan dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
- Delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP
Maksud dari delik korupsi yang ditarik secara mutlak adalah delit-delit yang diambil dari KUHP dan kemudian diadopsi menjadi delit korupsi sehingga delit tersebut tidak berlaku lagi dalam KUHP. - Delit korupsi yang di tarik secara tidak mutlak dalam KUHP
Maksud dari delit korupsi yang ditarik secra tidak mutlat dari KUHP adalah delit yang diambil dengan keadaan tertentu yakni berkaitan dengan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Jadi berbeda dengan penarikan secara mutlak, dimana ketentuan delik ini di dalam KUHP tetap berlaku dan dapat diancamkan kepada seorang pelaku yang perbuatannya memenuhi unsur.
Akan tetapi apabila ada kaitannya dengan pemeriksaan delik korupsi maka yang akan diberlakukan adalah delik sebagaimana diatur dalam undang-undang pemberantasan korupsi. Adapun delik korupsi yang ditarik secara tidak mutlak dari KUHP ini terdapat di dalam Pasal 23 undang-undang nomor 31 tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu diambil dari Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429, dan Pasal 430 KUHP.
Berdasarkan undang-undang no. 31 tahun 1999 jo. uu no. 20 tahun 2001, terdapat beberapa pasal yang mengatur perbuatan korupsi, antara lain:
- Pasal 2
Setiap orang yang melawan hukum di mana melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain. - Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. - Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya. - Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Maka akan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Tindak pidana yang tidak selesai dapat diancam dengan sanksi pidana sepanjang memenuhi syarat-syarat percobaan yang dapat dipidana yaitu:
- Ada niat.
- Adanya permulaan pelaksanaan.
- Tidak selesainya delik bukan karena kehendak pelaku.
Dan apabila suatu perbuatan pidana yang tidak selesai telah memenuhi ketiga syarat di atas, maka kepada pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana tersebut.
- Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Maka dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (UU No. 31 Tahun 1999).
Pasal ini secara terbatas hanya dapat diterapkan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Sumber:
- Nanang T. Puspito, dkk. 2011, Pendidikan anti korupsi untuk perguruan tinggi, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
- Darwan Print, S.H. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
0 Response to "Latar Belakang Perundang-Undangan Korupsi"
Post a Comment