Negara dan Ekonomi
Negara dan Ekonomi |
Negara dan Ekonomi
Ketika akhirnya pada bulan Agustus 1950 Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir secara de facto “negara” boleh dikatakan belumlah lahir, atau setidak-tidaknya masih teramat lemah: birokrasi sipil yang koheren belum tegak, sementar itu tentara masih terpecahpecah dalam bermacam-macam kelompok yang sering telah meletus dalam kekerasan. Sosok “negara” masih kabur dan tenggelam dalam kegaduhan “masyarakat” yang baru saja mengalami revolusi, politisasi dan ideologisasi yang maksimal.
Dalam waktu kurang lebih delapan tahun menjelang tahun 1950 di Indonesia, khususnya di Jawa, telah bertarung tiga “negara”: Hindia Belanda, Jepang dan tentunya “negara” Republik Indonesia. Negara yang terakhir ini tentunya sangatlah lemah mengingat kekuatan dirinya lebih tergantung pada unsur-unsur masyarakat yang terwakili dalam diri pemimpin-pemimpin nasionalis daripada kepada unsur-unsur negara moderen. Dalam revolusi sejak 1945 sampai 1950 malahan justeru unsur-unsur masyarakat yang telah mempertahankan “negara” Republik melalui organisasi perjuangan non-negara. Suasana seperti ini masih nampak jelas ketika Indonesia memasuki tahun pertama masa pasca-kolonial. Hanya setelah periode dari 1952 sampai 1959, dalam periode mana unsurunsur negara, terpenting di antaranya adalah tentara, telah mengalami suatu proses kristalisasi politik, sosial dan ekonomi, suasana “negara” di bawah “masyarakat” itu berubah secara dramatis.
Negara moderen pasca-kolonial Indonesia pertama-tama mulai mengenal sosok kehadiran dirinya secara lebih terang dalam Angkatan Darat yang bersatu. Proses penyatuan Angkatan Darat dimulai secara nyata kurang lebih pada pertengahan 1958, secara setelah Nasution berhasil mengatasi pemberontakanpemberontakan daerah secara militer.
Perkembangan negara yang menyandarkan diri pada Angkatan Darat yang bersatu ini kemudian berlanjut lebih jauh lagi ketika ternyata Angkatan Darat yang bersatu ini juga berkeyakinan bahwa ia harus melakukan peranannya sendiri dalam bidang politik, sosial, ekonomi serta bidang-bidang non-militer lainnya. Pelaksana keyakinan ini dimulai mendasarkan diri pada Undang-undang Darurat Perang pada bulan Maret 1957. Periode dari Maret 1957 sampai juli 1959 adalah periode yang amat penting yang menjelaskan bagaimana negara pasca-kolonial Indonesia telah membentuk dan mengembangkan diri. Segera setelah pengeluaran Undang-undang Darurat Perang, Angkatan Darat sebagai unsur “negara” masuk ke dalam wilayah “masyarakat” dengan pembentukan Badan Kerja Sama antara unsur-unsur Angkatan Darat dengan organisasi-organisasi pemuda yang berafiliasi pada partai, kemudian dengan organisasi-organisasi buruh, tani dan wanita, pada bulan juni 1957. Kemudian Nasution juga berhasil menyatukan berbagai-bagai organisasi veteran ke dalam organisasi tunggal Legium Veteran di bawah supervisi Angkatan Darat.
Dalam pesaingan dengan Sukarno, Angkatan Darat juga berhasil mendirikan Front Nasional Pembebasan Irian Barat sebagai organisasi mobilisasi untuk menggalang unsur dan kekuatan Angkatan Darat dan masyarakat. Paling penting untuk dicatat di sini, bahwa dengan Undang-undang Darurat Perang, Angkatan Darat bisa bertemu, bersatu, dengan dan menghidupkan kembali unsurunsur negara modern yang tak kalah pentingnya dengan Angkatan Darat, yaitu birokrasi dan administrasi sipil. Berdasarkan Undangundang ini Angkatan Darat masuk dan mengawasi aparatur dan birokrasi sipil, dan di daerah-daerah komandan-komandan regional diinstruksikan untuk membawa aparatur dan birokrasi sipil ini untuk mengidentifikasikan diri dengan kepentingan masyarakat setempat. Dengan undang-undang ini pula kini Angkatan Darat bisa mengawasi dan mengontrol unsur-unsur masyarakat yang terwakili dalam partai politik, organisasi-organisasi sosial dan tentunya pers. Kehadiran negara yang mulai dirasakan di mana-mana ini kemudian diikuti oleh suatu peristiwa penting yang secara strategis membuka peluang bagi perluasan negara dalam bidang ekonomi.
Pada bulan Desember 1957 terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dan segera setelah itu Nasution menginstruksikan agar perusahaanperusahaan yang dinasionalisasi berada di bawah pengawasan dan penguasaan Angkatan Darat. Pada bulan Agustus 1958 ketika perusahaan-perusahaan asing akan diintegrasikan ke departemendepartemen pemerintah Nasution meminta persyaratan agar para perwira senior atau yang tidak memiliki tugas supaya disalurkan ke dalam kedudukan manajemen perusahaan-perusahaan itu. Dalam waktu yang hampir bersamaan Nasution juga menginstruksikan agar perwira-perwira yang secara administratif bertanggung jawab pada pelaksanaan Undang-undang Darurat Perang dimasukkan ke dalam dewan manajemen perusahaan-perusahaan asing itu.
Penguasaan dan pengawasan perusahaan-perusahaan asing yang dinasionalisasi di tangan Angkatan Darat telah menandai suatu loncatan penting bagi perkembangan negara pasca-kolonial bahwa negara kini secara politik telah menguasai sektor ekonomi moderen. Perusahaan-perusahaan asing ini kemudian diubah bentuknya menjadi perusahaan-perusahaan negara. Menarik untuk diingat di sini betapa negara Hindia Belanda pada tahap permulaan pertumbuhannya, juga telah membangkitkan tradisi perusahaan negara (staatbedrijft) yang terwujud dalam pembentukan NHM pada 1825 untuk memonopoli perdagangan di sektor moderen.
Persatuan dan sentralisasi Angkatan Darat lebih kukuh dan meyakinkan ketika pada pertengahan 1958 Nasution secara militer telah mengatasi pemberontakan-pemberontakan daerah yang melibatkan perwira-perwira Angkatan Darat saingan Nasution. Setelah konflik internal yang mungkin terberat yang dihadapi Angkatan Darat ini, segera dibentuklah Panitia Doktrin Angkatan Darat, suatu lembaga yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah konseptual peranan Angkatan Darat yang semakin mendalam dan luas. Panitia ini telah memperkenalkan suatu konsep pertahanan yang juga mendasarkan diri pada kekuatan-kekuatan populer masyarakat. Konsep ini kemudian ditingkatkan menjadi Doktrin Perang Wilayah.
Pada bulan Agustus 1958, suatu konferensi komando wilayah telah mengeluarkan suatu resolusi yang menyatakan bahwa Angkatan Darat akan memusatkan kekuatannya untuk menegakkan hukum, disiplin dan keteraturan, serta membersihkan organisasi kenegaraan baik sipil maupun militer. Puncak pernecahan konseptual diberikan oleh Nasution pada bulan November dengan pemecahan “jalan tengah” yang pada dasarnya merupakan suatu pengesahan bagi peranan Angkatan Darat di luar bidang militer. Dalam sidang Dewan Nasional yang berlangsung dari bulan Juli sampai November, Nasution dengan gigih mengusulkan suatu penyederhanaan dan kontrol atas partai-partai politik, menggantikan sistem Pemilihan Umum perwakilan menjadi sistem distrik, depolitisasi birokrasi sebagai cara untuk mengurangi ketegangan dan ketidakstabilan dan pengusulan agar Angkatan Darat diwakili dalam lembaga kenegaraan dan parlemen sebagai Golongan Karya.
Dalam sidang di akhir November, Dewan Nasional akhimya menyetujui daftar Golongan Karya di mana Angkatan Darat termasuk di dalamnya. Keberhasilan secara de facto Angkatan Darat ini kemudian lebih dikukuhkan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945–suatu pemecahan politik yang telah diperjuangkan dengan gigih oleh Nasution.22 Demikianlah dalam waktu yang relatif pendek, negara pascakolonial Indonesia melalui penyatuan, politisasi dan ideologisasi serta perluasan peranan dari salah satu unsurnya yang terpenting telah mengubah kekaburan dirinya di awal 1950-an menjadi suatu kehadiran yang pasti dan menonjol. Dalam periode setelah 1959 lembaga-lembaga kenegaraan, politik dan birokrasi telah berada dalam pengaruh kuat unsur-unsur negara itu sendiri. Sukarno sebagai representasi unsur “masyarakat” yang selamat dalam krisis transisional 1957-1959 telah terpaksa, demi keselamatan politik dan sekaligus memperkuat posisinya vis-a-vis “negara,” memobilisasi dan mengonsolidasikan unsur-unsur “masyarakat” yang selamat dari krisis itu yang terwakili dalam diri partai-partai politik, terutama PKI, PM dan NU, serta tokohtokoh sipil nonpartai.
Ruangan kosong yang telah ditinggalkan oleh unsur-unsur “masyarakat” yang tidak berhasil untuk selamat dalam krisis transisional 1957-1959 hendak dicoba untuk diisi oleh kekuatan-kekuatan politik di bawah Sukamo ini. Keperluan akan legitimasi politik dan mempertahankan suatu tingkat mobilisasi yang tinggi telah memaksa Sukarno untuk meradikalkan dan merevolusionerkan masyarakat dengan politik dan ekonomi revolusi dan berdikari; pilihan lain berupa perubahan gradual seperti yang telah dikejar pada masa sebelumnya tidaklah mungkin. Angkatan Darat yang mewakili unsur “negara” terpaksa menjadi defensif dan konservatif–suatu sikap yang diterjemahkan ke dalam bentuk menyelamatkan dan mempertahankan aparatur, birokrasi dan lembaga-lembaga negara lainnya.
Pertemuan dua arus-pemecahan dan kepentingan politik Sukarno di satu pihak, dan di pihak lain, Angkatan Darat yang telah mengalami politisasi, ideologisasi dan perluasan peranan dan menyadari perlunya menyelamatkan “negara”–telah melahirkan etatisme dan perekonomian komando. Namun pertemuan dua arus yang ditupang oleh keseimbangan yang penuh ketegangan dan sangat eksplosif ini telah berdiri di atas perekonomian yang amat rapuh dengan tingkat dislokasi dan stagnasi yang amat tinggi.
Kecenderungan-kecenderungan intrinsik dalam kapitalisme periferal yang mengalami kerusakan ini semakin kuat dan tak terkendalikan lagi, berupa ekspor dan impor yang menurun secara menyolok, diikuti penurunan tingkat produksi hampir mendekati titik kelumpuhan dan defisit negara yang amat besar. Etatisme dan perekonomian komando yang bertemu dengan kapitalisme periferal yang rusak dengan begitu telah menghasilkan inflasi pada tingkat fantastis dan pendapatan per-kapita yang menurun. Negara, dengan perusahaan-perusahaan negara yang didirikan secara cepat dan tergesa-gesa, yang pada 1959-1960 telah meloncat masuk dan menguasai hampir seluruh kegiatan ekspor, impor, distribusi dan perdagangan pada akhirnya telah terjerat dalam perekonomian yang terlalu penuh peraturan dan birokratisasi yang tidak efektif dan tidak menentu, di mana pasar telah tak kuasa mengatur mekanismenya.
Betapapun kuat dan luas jangkauan Negara, namun–setidak-tidaknya dalam periode itu–satu kenyataan keras tidak bisa dilawannya: bahwa pendapatan terbesarnya tergantung pada kegiatan-kegiatan ekonomi yang menghubungkan perekonomian domestik dengan pasaran internasional. Dalam tulisan lain penulis kemukakan ini sebagai ciri kapitalisme periferal. Perluasan kekuasaan negara dan birokratisasi perekonomian pada periode ini tepat bersamaan dengan saat di mana hubungan ekonomi dengan pasaran internasional boleh dikatakan hampir putus sama sekali. Pemecahan yang menekankan stabilisasi dan normalisasi perekonomian, dan dengan begitu hubungan ekonomi luar negeri diharapkan bisa dipulihkan kembali seperti yang diusahakan oleh Djuanda pada bulan Mei 1963 telah terdepak ke luar arus oleh unsur-unsur masyarakat yang telah termobilisasi dan terradikalisasi.
Dalam periode Demokrasi Terpimpin ini nampaklah dua kecenderungan yang kuat. Di satu pihak, “masyarakat” telah tenggelam dalam heroisme, simbolisme dan sloganisme revolusioner–suatu kecenderungan yang semakin diperkuat sebagai kompensasi terhadap kesulitan-kesulitan ekonomi. Di pihak lain, “negara” telah semakin mandiri, terlepas dari “masyarakat” dan telah mengembangkan logika dan kepentingan-kepentingannya sendiri, serta telah memperluas sektor kegiatan dan jangkauannya.
Namun ironisnya adalah bahwa kemandirian dan perluasan negara ini tidak melaju ke mana-mana, atau stagnan. Dapat dikemukakan sumber ketidakstabilan dan disintegrasi; dan tidak kalah pentingnya adalah dipersatukannya seluruh kekuatan angkatan bersenjatasuatu kekuatan yang berkeyakinan bahwa peranannya tidak terbatas pada masalah keamanan, tetapi juga pada masalahmasalah non-militer. Dengan bekal seperti inilah maka pada awal 1970-an telah tercipta beamtenstaat pascakolonial Indonesia yang lebih kuat dibandingkan negara-negara sebelumnya dengan akibatakibat yang tidak jauh berbeda dengan beamtenstaat terdahulu.
Ini nampak jelas dalam kenyataan bahwa masyarakat belumlah mampu mengatasi keterasingannya dari partisipasi yang berarti dalarn politik dan ekonomi-suatu persoalan yang terus saja muncul sejak zaman kolonial Dalam periode pendek 1945 sampai 1960-an kita menyaksikan betapa masyarakat dengan penuh harapan telah mengisi “kekosongan” yang ditinggalkan oleh negara-negara lamaHindia Belanda dan Jepang–sementara negara pasca-kolonial Indonesia belum menemukan sosok kehadirannya secara tegas. Kita menyaksikan pula betapa perekonomian yang integrasinya dengan perekonomian internasional melemah telah menimbulkan proses-proses sosial dan politik yang akhirnya membawa masyarakat dalam kedudukan yang tidak menguntungkan.
Sumber:
- Benedict R.O’G. Anderson, “Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective,” halaman 480-481.
- Transformasi angkatan darat setelah kemerdekaan diulas secara bagus dalam Ruth T. McVey, “The Post-Revolutionary Transformation of the Indonesian Army,” (Part I and II) Indonesia 11: 131-76; 13: 147-82. Untuk periode transisional 1957-1959, lihat Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959 (Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesian Project, 1966).
0 Response to "Negara dan Ekonomi"
Post a Comment