Kapitalisme Global: Pengentasan Kaum Miskin

Pengentasan Kaum Miskin

Kapitalisme Global: Pengentasan Kaum Miskin

SELAMA kurun 1965-1998, pendapatan rata-rata seorang pekerja biasa di dunia praktis telah meningkat dua kali lipat, dari $2.497 menjadi $4.839 (setelah daya beli dan tingkat inflasinya disesuaikan). Peningkatan ini bukan hasil capaian negara-negara industri melalui pertumbuhan pendapatan mereka. Dalam periode tersebut pendapatan rata-rata dari seperlima penduduk terkaya dunia meningkat dari $8.315 menjadi $14.623, atau sekitar 75 persen. Bagi seperlima penduduk termiskin dunia, peningkatannya ternyata lebih cepat lagi. Dalam kurun yang sama, pendapatan rata rata mereka meningkat dari $551 menjadi $1.137, jadi lebih dari dua kali lipat.

Konsumsi dunia saat ini dua kali lipat lebih besar daripada konsumsi pada 1960. Berkat pertumbuhan materi di separuh abad terakhir, lebih dari tiga miliar orang di dunia kini hidup di atas garis kemiskinan. UNDP (Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa) mencatat bahwa dalam 50 tahun terakhir kemiskinan di seluruh dunia telah menurun lebih drastis daripada yang terjadi selama 500 tahun sebelumnya.

Dalam Human Development Report 1997, institusi ini melaporkan bahwa manusia sedang berada dalam ‘kenaikan besar untuk kedua kalinya”. Kenaikan pertama dimulai pada abad ke-19 dengan industrialisasi di AS dan Eropa serta ditandai pula dengan,sebagai hasilnya, kemakmuran yang meluas dengan pesat. Kenaikan kedua dimulai di masa pasca-perang dan sedang memuncak saat ini-mula-mula di Asia, lalu di negara-negara berkembang lainnya, yang mencatat keberhasilan besar dalam perjuangan mereka melawan kemiskinan, kelaparan, penyakit, dan buta huruf. 
Keberhasilan besar dalam penurunan angka kemiskinan di abad ke-20 menunjukkan bahwa kemiskinan yang parah dapat dihapuskan sepenuhnya pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-21.
Kemiskinan masih terus menurun pesat, termasuk “kemiskinan absolut” yang biasa didefinisikan sebagai kondisi di mana penghasilan seseorang kurang dari satu dolar per hari. Pada 1820, sekitar 85 persen penduduk dunia hidup dengan penghasilan yang setara dengan nilai tersebut. Menjelang 1950 persentasenya turun hingga menjadi sekitar 50 persen; pada 1980 menjadi 31 persen.  Menurut perhitungan Bank Dunia, kemiskinan absolut sejak 1980 telah turun dari 31 persen menjadi 20 persen (atau sering disebut sebesar 24 persen, yang maksudnya 24 persen dari populasi penduduk di negara-negara berkembang).

Penurunan radikal yang dicapai selama 20 tahun terakhir ini unik tidak saja terjadi dalam hal proporsi, melainkan juga dalam hal jumlah total penduduk yang berada dalam kemiskinan absolut; dan hal ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Selama dua dasawarsa terakhir, jumlah penduduk dunia telah meningkat sebesar satu setengah miliar jiwa, tetapi jumlah penduduk dalam kategori kemiskinan absolut  telah berkurang sebanyak kurang-lebih 200 juta orang. Penurunan ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. 

Upaya pengentasan penduduk miskin telah berlangsung paling efektif di daerah-daerah yang tingkat kemakmurannya meningkat paling cepat. Di Asia Timur (kecuali Cina), angka kemiskinan absolut telah turun dari 15 persen hingga sedikit di atas 9 persen; di Cina dari 32 persen hingga 17 persen. Pada 1975 satu dari enam orang Asia hidup dalam kemiskinan absolut; proporsinya saat ini, menurut Bank Dunia, kurang dari dua dari sepuluh orang.  

grafik
Kendati demikian, temuan-temuan yang membesarkan hati tersebut hampir dapat dipastikan telah terlalu membesar-besarkan kemiskinan dunia, sebab Bank Dunia dalam perhitungannya telah menggunakan data hasil survei yang terkenal tidak andal.

Mantan ekonom Bank Dunia Surjit S. Bhalla baru-baru ini memublikasikan hasil perhitungannya sendiri, dengan menambahkan temuan-temuan surveinya dengan data akun nasional. Metode ini, tukasnya dengan penuh keyakinan, mengukur jauh lebih akurat. Seperti dilaporkan dalam temuannya, kemiskinan telah menurun tajam dari tingkat 44 persen pada 1980 menjadi 13 persen di akhir 2002. Jika angka-angka ini benar, itu berarti selama 20 tahun terakhir telah terjadi penurunan kemiskinan secara luar biasa yang tidak memiliki presedennya selama ini—yaitu sebesar dua kali lipat dari capaian selama rentang 20-tahun yang pernah dicatat. Tujuan PBB dalam upayanya menekan tingkat kemiskinan hingga di bawah 15 persen pada 2015 telah tercapai dan terlampaui.

“Tetapi,” sanggah para skeptis, “apa yang diinginkan orang-orang di negara berkembang dengan konsumsi dan pertumbuhan?  Mengapa kita harus memaksakan cara hidup kita kepada mereka?”  Jawabannya: kita tidak boleh memaksakan cara hidup tertentu kepada siapapun. Namun, apapun nilai yang mereka yakini, mayoritas orang di dunia menginginkan kondisi materi yang lebih baik, karena dengan begitu mereka memiliki lebih banyak pilihan; terlepas dari bagaimana mereka kelak memanfaatkan peningkatan kekayaan mereka.

Seperti ditekankan oleh ekonom India sekaligus peraih hadiah Nobel, Amartya Sen, kemiskinan bukan semata masalah materi. Kemiskinan sesuatu yang lebih luas: dia juga tentang ketidakberdayaan, tentang terlucutinya kesempatan yang mendasar serta kebebasan untuk memilih. Pendapatan rendah seringkali gejala bagi hilangnya hal-hal tersebut, juga bagi marjinalisasi seseorang atau ketidakberdayaannya terhadap koersi.

Tujuan pembangunan manusia adalah agar manusia dapat menikmati hidup sehat dan aman, dengan standar hidup yang baik dan kebebasan untuk membentuk kehidupannya sendiri.  Oleh karena itulah kajian pertumbuhan material ini penting untuk menunjukkan bagaimana kekayaan dapat diproduksi dan oleh karena hal tersebut juga berkontribusi terhadap pembangunan, dalam pengertiannya yang lebih luas. Sumber daya materi, yang dimiliki individu ataupun masyarakat, memungkinkan manusia untuk mendapatkan makanan dan pendidikan bagi dirinya sendiri, untuk mendapatkan layanan kesehatan, dan untuk tidak menyaksikan kematian anak-anaknya. Sebagaimana kita ketahui, hasrat-hasrat tersebut manusiawi dan universal, ketika orang diizinkan memilih bagi dirinya sendiri.

Perbaikan kondisi kemanusiaan tercermin dalam pertumbuhan pesat tingkat harapan hidup rata-rata di dunia. Di awal abad ke20, tingkat harapan hidup penduduk di negara berkembang adalah di bawah 30 tahun; pada 1960 angka ini meningkat menjadi 46 tahun, dan pada 1998 menjadi 65 tahun.

Tingkat harapan hidup di negara-negara berkembang saat ini, jika dibandingkan dengan di Inggris seabad lalu saat menjadi perekonomian termaju di dunia, adalah 15 tahun lebih tinggi. Perkembangan paling lambat terjadi di Afrika, sebelah selatan Sahara; kendati demikian, di sana pun angkanya telah meningkat dari 41 hingga 51 sejak tahun 60-an. Tingkat harapan hidup di negara maju tetap paling tinggi; di negara-negara OECD, angkanya adalah 78 tahun. Tetapi peningkatan tercepat terjadi di negara-negara miskin miskin. Pada 1960, tingkat harapan hidup rata-rata adalah 60 persen dari tingkat di negara maju; sekarang  sudah sebesar 80 persen. Sembilan dari sepuluh orang di seluruh  dunia kini dapat berharap hidup hingga lebih 60 tahun, yang berarti dua kali lipat dari tingkat harapan hidup rata-rata manusia hanya seratus tahun sebelumnya.

Dalam On Asian Time, Berg menceritakan tentang kedatangannya kembali ke Malaysia 30 tahun setelah kunjungan pertamanya ke sana; ketika tiba-tiba menjadi jelas baginya bahwa tingkat harapan hidup penduduk di sana selama rentang waktu tersebut telah meningkat sebanyak 15 tahun. Artinya, orang-orang yang ditemui Berg di sana, sejak kunjungan perdananya tersebut, dapat merayakan setiap ulang tahun mereka dengan hanya bertambah dekat setengah tahun saja dari kematian pada setiap ulang tahunnya.

Sebagian dari perbaikan kesehatan tersebut adalah berkat  kebiasaan makan dan kondisi hidup yang lebih baik, serta kesejahteraan yang juga semakin baik. Dua puluh tahun lalu, perbandingannya adalah satu dokter untuk seribu penduduk; saat ini, 1,5 dokter. Pada 1980 rasio perbandingan dokter/penduduk di negara-negara termiskin adalah 0,6 per seribu penduduk; statistik ini telah meningkat hampir dua kali lipat, menjadi 1,0. Indikator yang paling andal dan paling dapat menjelaskan kondisi hidup masyarakat miskin adalah angka kematian bayi, yang di negara-negara berkembang telah mengalami penurunan drastis.

Jika pada 1950, sekitar 18 persen bayi baru-lahir meninggal–ini berarti hampir satu dari setiap lima bayi!—maka pada  1976 angka ini turun menjadi 11 persen, dan pada 1995 menjadi  hanya 6 persen. Dalam 30 tahun terakhir saja angka kematian ini telah berkurang hingga separuhnya, dari 107 kematian per seribu kelahiran, menjadi 59 per seribu kelahiran pada 1998. Semakin banyak manusia  dapat bertahan hidup meski terbelenggu kemiskinan. Dan meski kian banyak orang dapat bertahan hidup di negara-negara miskin,  proporsi orang miskin di dunia semakin menciut. Pada gilirannya ini menyiratkan bahwa tingkat kemiskinan yang berhasil diturunkan selama ini lebih besar daripada yang terbaca dari pengamatan sekilas terhadap statistik.
grafik

sumber
  • Berg dan Karlsson, h. 300.
  • Surjit S. Bhalla, Imagine There’s No Country: Poverty, Inequality, and Growth in the Era of Globalization (Washington: Institute for International Economics,  2002).
  • UNDP, Human Development Report 1997, (New York: Oxford University Press for the United Nations Development Program, 1997),” h. 12.
  • Tanda dolar ($) di dalam buku ini mengacu pada dolar Amerika Serikat, kecuali jika disebutkan lain.--Peny. 
  • Arne Melchior, Kjetil Telle, dan Henrik Wiig, Globalisering och ulikhet:Verdens inntektsfordeling og levestandard, 1960-1998 (Oslo: Royal Norwegian Ministry of Foreign Affairs, 2000). Juga tersedia dalam versi ringkas bahasa Inggris: Globalization and Inequality: World Income Distribution and Living Standard,1960-1998, Studies on Foreign Policy Issues, Report 6:B, 2000, Bab 2.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kapitalisme Global: Pengentasan Kaum Miskin"

Post a Comment