Demokratisasi dalam Kapitalisme Global
Demokratisasi
Demokratisasi |
PESATNYA penyebaran informasi dan gagasan di dunia, dan diiringi pula oleh naiknya standar pendidikan dan peningkatan kemakmuran, telah mendorong munculnya tuntutan akan hak-hak politik yang konkret. Mereka yang anti globalisasi berpendapat bahwa pasar yang dinamis dan modal internasional merupakan ancaman bagi demokrasi. Namun, apa yang di mata mereka terancam itu adalah rencana mereka untuk memanfaatkan demokrasi. Belum pernah terjadi dalam sejarah betapa demokrasi, hak pilih universal, dan kebebasan beropini telah begitu tersebar luas seperti sekarang ini. Seratus tahun lalu, bangsa-bangsa di manapun di dunia belum mengenal hak pilih yang universal dan setara. Saat itu, dunia berada di bawah kekuasaan imperial dan monarki. Bahkan di barat pun perempuan masih dikecualikan dari proses demokrasi.
Pada abad ke-20 sebagian besar dunia ditaklukkan oleh komunisme, fasisme, atau Sosialisme Nasional--ideologi-ideologi yang membawa ke peperangan besar dan pembantaian politis terhadap lebih dari 100 juta jiwa. Sistem-sistem tersebut kini telah runtuh, meski ada sedikit pengecualian. Negara-negara totaliter telah runtuh; rezim-rezim diktator didemokratisasikan; dan monarki-mornarki absolut dilengserkan. Seratus tahun lalu, sepertiga penduduk dunia diperintah dari jauh oleh kolonialisasi asing. Sekarang, kerajaan kolonial telah dicopot. Dalam dasawarsa terakhir saja rezim-rezim diktator berguguran bagai gada-gada boling, terutama setelah tirai besi komunisme runtuh. Berakhirnya Perang Dingin menutup pula strategi politik AS yang tidak menyenangkan, yang mendukung rezimrezim diktator di negara berkembang sejauh mereka tidak menentang blok Uni Soviet.
Menurut think tank Freedom House, pada 2002 terdapat 121 negara demokrasi bersistem multipartai yang mengakui keseragaman dan kesetaraan hak pilih. Di negara-negara demokrasi tersebut hidup 3,5 miliar manusia, atau sekitar 60 persen penduduk dunia. Sebanyak 85 negara dengan total 2,5 miliar penduduk dianggap ‘bebas’ (maksudnya, dianggap bangsa demokratis yang mengakui hak sipil penduduk). Itu melebihi 40 persen penduduk bumi dan merupakan proporsi terbesar selama ini. Dengan kata lain, pada saat ini sebesar itulah jumlah manusia yang hidup di negara-negara dengan kepastian hukum, kebebasan berpendapat, dan oposisi aktif.
Grafik Perbandingan |
Pada 2002, sebanyak 42 negara melakukan pelanggaran hak asasi. Yang terburuk adalah Myanmar, Kuba, Irak, Libia, Korea Utara, Saudi Arabia, Sudan, Siria, dan Turkmenistan-- negara-negara yang paling sedikit tersentuh oleh globalisasi dan paling kecil minatnya pada ekonomi pasar dan liberalisme. Ketika kita sekarang menyayangkan hal tersebut dan bertekad memerangi bentuk-bentuk penindasan, pengekangan pendapat, pengontrolan media oleh negara dan penyadapan telepon, kita seyogyanya juga mengingat bahwa beberapa dasawarsa lalu, kondisi-kondisi seperti itu biasa diberlakukan terhadap mayoritas penduduk dunia. Pada 1973 terdapat hanya 20 negara demokratis saja, dengan populasi masing-masing melebihi satu juta.
Di tahun 90-an, jumlah negara ‘bebas’ di dunia bertambah 21 lagi. Pada saat yang sama, jumlah negara yang tidak bebas berkurang sebanyak 3 negara. Ekspansi kebebasan ini terjadi seiring dengan terbentuknya sejumlah negara baru menyusul disintegrasi yang terjadi di negara-negara lama semacam Uni Soviet. Kecenderungan demokrasi berlanjut, dan tidak ada alasan untuk mengharapkannya berhenti sekarang. Kadang demokrasi dituduh sulit berbaikan dengan Islam, sehingga seperti itulah keadaannya di dunia saat ini. Namun, harus pula kita ingat bahwa belum lama berselang, banyak peneliti mengatakan hal serupa tentang agama katolik di tahun 70-an. Saat itu negara-negara katolik mencakupi rezim-rezim militer di Amerika Latin, negara-negara komunis Eropa Timur dan rezim diktator Marcos di Philipina.
Jumlah peperangan dalam sepuluh tahun terakhir telah berkurang hingga separuhnya, dan saat ini kurang dari 1 persen saja penduduk dunia menjadi korban langsung dari konflik-konflik militer. Satu alasannya adalah bahwa negara-negara demokrasi tidak saling berperang satu sama lain. Di samping itu, pertukaran internasional membuat konflik kehilangan daya tariknya. Melalui kebebasan berdomisili dan perdagangan bebas, ukuran negara sama sekali tidak penting bagi penduduk. Kesejahteraan tidak diperoleh dengan cara mencaploki wilayah milik bangsa lain, melainkan melalui perdagangan dengan daerah tersebut beserta sumber dayanya. Sebaliknya, jika dunia ini berisi bangsa-bangsa yang saling berswasembada, maka wilayah milik satu bangsa menjadi tidak akan berharga sebelum sebuah bangsa lain merebutnya.
Sebagaimana kata-kata bijak dalam peribahasa yang berasal dari daerah perbatasan Denmark-Swedia abad ke-16, “Sapi itu menciptakan perdamaian”. Petani-petani di sekitar perbatasan tersebut berdamai dengan satu sama lain, meski hal ini bertentangan dengan keinginan para penguasa. Para petani tersebut ingin saling mempertukarkan daging dan mentega dengan ikan hering dan rempah-rempah. Juga, sebagaimana dikatakan dengan bernas oleh Frédéric Bastiat, seorang liberal Prancis abad ke-19: “Jika barangbarang tidak melintasi perbatasan, maka para tentaralah yang akan melakukannya.” Kesalingtergantungan mengurangi potensi konflik antar negara. Kepemilikan-silang, perusahaan multinasional, investasi asing dan sumber-daya perorangan mengaburkan batasbatas negara. Kalau berabad lalu bangsa Swedia pernah menyerbu Eropa, tujuannya tidak lain menguasai dan menjarahi sumber daya bangsa lain. Seandainya hal semacam itu dilakukan sekarang, maka yang akan menjadi korbannya adalah juga perusahaan-perusahaan Swedia, termasuk modal dan pasar ekspornya sendiri.
Globalisasi telah disinyalir sebagai tantangan berat bagi negara kebangsaan, sebagai penyulut gerakan separatisme dan konflikkonflik lokal maupun etnis. Risiko berupa aktivitas separatis tentu dapat muncul manakala kekuasaan nasional dipertanyakan, dan tragedi Yugoslavia adalah bukti bahwa separatisme dapat berujung pada konflik bersimbah darah. Namun demikian, jumlah konflik besar yang meletus di dalam konteks satu negara—yang menyebabkan melayangnya ribuan nyawa––terbukti telah berkurang. Dalam periode 1991-2000, jumlahnya menurun dari 20 menjadi 12. Sembilan dari konflik-konflik terjadi di Afrika, benua yang paling belum begitu mengenal demokrasi, globalisasi dan kapitalisme. Konflik-konflik yang mengikuti keruntuhan negara-negara totaliter terutama berwujud perebutan kekuasaan di saat kekuasaan mengalami kevakuman sementara. Di berbagai negara, sentralisasi menghambat berlangsungnya evolusi institusi yang stabil dan demokratis dan masyarakat madani, sehingga ketika sentralisasi hilang, kekacauansementara akan terjadi sampai institusi baru terbentuk. Namun tidak ada alasan untuk menganggap hal ini sebagai tren baru di dunia yang semakin internasional dan demokratis.
Sumber
- Freedom House, Freedom in the World 2002 (New York: Freedom House, 2002.
- Freedom House, 2000, “Democracy’s Century: A Survey of Global Political Change in the 20th Century: (New York: Freedom House, 2000.
0 Response to "Demokratisasi dalam Kapitalisme Global"
Post a Comment