Nasionalisme dan Masyarakat

Nasionalisme dan Masyarakat

Nasionalisme dan Masyarakat

Dalam periode sejak sekitar tahun 1910 sampai 1965 masyarakat atau sektor nonnegara di Jawa, kemudian juga di luar Jawa dan akhirnya seluruh Indonesia, mengalami politisasi dan ideologisasi yang mendalam. Gerakan politisasi dan ideologisasi ini berasal dari kelompok atas golongan pribumi yang merupakan campuran dari kaum bangsawan, intelektual pendidikan Barat, pemimpin agama dan anggota kelompok pedagang dan komersial yang telah mewakili kelahiran borjuis pribumi. Mereka kemudian menemukan diri mereka sebagai pemimpin sosial dan politik yang memperkenalkan metode baru dalam mengorganisasikan pengetahuan dan pemikiran dalam hubungannya dengan dunia moderen, terlepas dari kerangka “negara” Hindia Belanda. 

Hal penting yang terjadi dalam proses politisasi dan ideologisasi pribumi ini adalah bahwa kepada masyarakat pribumi telah diperkenalkan arti praktek diskriminasi dan eksploitasi dalam pendidikan, kesempatan ekonomi, profesi, administrasi hukum dan perundangundangan, dalam perspektif luas, yaitu kolonialisme. Kenyataan bahwa mobilisasi ke atas kelompok-kelompok yang aktif dalam masyarakat pribumi pada periode 1910-an tidak bisa dikejar melalui bidang ekonomi–tentunya karena sektor moderen dikuasai oleh perusahaan negara dan asing, dan sektor perantara oleh golongan Cina–dan pula tidak bisa melalui birokrasi perusahaan asing dan negara, maka kelompok-kelompok ini dengan sendirinya menyadari perlunya peduangan politik dengan mempersoalkan legitimasi negara Hindia Belanda serta orde sosial ekonomi kolonial yang mendukungnya.

Kurang lebih inilah watak nasionalisme yang tumbuh pada periode itu. Sarekat Dagang Islam (SDI) dan tokoh pendirinya, Raden Mas  Tirto Adisoerjo, adalah representasi tipikal gerakan nasionalisme ini. SDI yang- pada mulanya merupakan asosiasi koperasi dari pedagang-pedagang batik Jawa yang dibentuk demi menghadapi persaingan dengan golongan Cina dan kemudian muncul kembali sebagai organisasi politik, Sarekat Islam, juga menunjukkan betapa kesulitan-kesulitan ekonomi yang dihadapi golongan pribumi telah menjelma menjadi gerakan politik. Konsekuensi penolakan pada legitimasi negara dan orde sosial ekonomi kolonial adalah bahwa kelompok-kelompok yang aktif dalam gerakan-gerakan kemasyarakatan ini ditekan untuk memberikan suatu alternatif kehidupan kemasyarakatan tanpa negara Hindia Belanda atau tata susunan kemasyarakatan tanpa kolonialisme. Pada saat inilah pemikiran-pemikiran Islam moderen, demokrasi liberal dan sosialisme mulai mengakar dalam masyarakat sebagai prospek masa depan kemerdekaan politik dan ekonomi. Inilah peranan penting yang dilakukan kelompok intelektual didikan Barat dan profesi, yaitu memberikan wawasan spektrum ideologi dan politik yang luas. Ketegangan antara masyarakat pribumi dan negara Hindia Belanda terjadi ketika keduanya mengerahkan kekuatan mereka masingmasing.

Pemimpin-pemimpin sosial dan politik telah memperkuat diri dengan pembentukan partai politik dan organisasi sosial untuk memobilisasi massa dalam berbagai sektor masyarakat kota dan pedesaan. Inilah pula yang mewarnai gerakan nasionalisme pada periode dasawarsa kedua sampai keempat abad keduapuluh: munculnya bermacam-macam organisasi sosial dan politik dengan orientasi politik dan ideologi yang kuat. Ketiadaan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dalam usahanya untuk mempertahankan diri, keamanan dan keteraturan orde kolonial, negara Hindia Belanda mendasarkan diri pada kebijaksanaan-kebijaksanaan individual, ad hoc  dan jangka pendek, yang pada dasarnya bersifat pelarangan dan represi, penekanan-penekanan langsung, pengasingan dan penangkapan. Gubernur Jendral memiliki suatu otoritas untuk mengasingkan, menangkap tanpa otorisasi pengadilan dan melarang penerbitan yang dipandang bertentangan dengan kepentingan umum. Perkumpulan bebas dan pertemuan–yang merupakan media penting bagi unsur-unsur kemasyarakatan untuk memperkuat diri secara politik dan ideologis–secara ketat dikontrol dengan ancaman penahanan dan pemenjaraan. 

PID (Politieke Inlichtingen Dienst) dan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger) merupakan bagian penting bagi negara Hindia Belanda untuk mengusahakan keamanan dan keteraturan (rust en orde). Negara Hindia Belanda yang secara struktural telah terasing dari masyarakat pribumi kini dipersoalkan legitimasinya dan menjadi defensif dan dengan terpaksa memperkembangkan dan akhirnya mendasarkan diri pada birokrasi dan aparat politik. Kegagalan Volksraad  untuk berfungsi secara efektif sebenarnya adalah kegagalan negara dalam menciptakan mediasi dengan masyarakat pribumi dan dengan begitu mengatasi keterasingannya.

Sementara itu masyarakat yang terasing dari peranan-peranan yang berarti dalam ekonomi terus memperkuat dirinya dengan politik dan ideologi. Nampaklah di sini betapa birokrasi dan aparat politik negara telah berkembang bukan sebagai akibat rangsangan internal negara di ruang kosong; tetapi dari politisasi dan ideologisasi unsur-unsur masyarakat. Unsur-unsur kemasyarakatan ini terus bergerak dan berkembang dalam ruang lingkup politik dan ideologi. Dalam proses ini pemimpin-pemimpin mereka yang muncul telah menghadapi penahanan, pengadilan dan pengasingan yang dilakukan oleh negara Hindia Belanda.

Depresi tahun 1921 telah memaksa negarademi kelangsungan perekonomian kolonial, dan bukan untuk kepentingan masyarakat pribumi–untuk memberikan kesempatan kepada pribumi berperanan dalam ekonomi, dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berorientasi ke dalam dan kemandirian ekonomi. Namun tidak lama setelah itu dan kebijaksanaan baru negara ini belum secara nyata memberikan hasil, negara itu sendiri telah dihancurkan oleh kekuatan negara Jepang tahun 1942.  Sejak saat ini sampai tahun 1965 masyarakat telah mengalami proses politisasi dan ideologisasi maksimal. Ini telah ditunjukkan oleh keberhasilan masyarakat untuk menempatkan wakil mereka dalam lembaga-lembaga negara pribumi yang, secara formal memperoleh kedaulatannya pada tahun 1949. Namun kemenangan politik dan ideologi unsur-unsur kemasyarakatan ini tetap berada dalam landasan perekonomian kolonial yang belum berubah, malahan lebih jelek. Distribusi kekuatan ekonomi, pola pemilikan aset-aset produktif, alokasi faktor-faktor produksi dan kesentralan peranan impor dan ekspor telah menunjukkan betapa struktur kapitalisme periferal yang telah berkembang sejak abad kesembilanbelas masih tetap bertahan dan tentunya dalam keadaan rusak. Kerusakan ini pertama disebabkan oleh dislokasi dan stagnasi yang diderita oleh pasaran dunia akibat Perang Dunia Kedua; dan pada tingkat domestik, disebabkan oleh kehancuran prasarana, organisasi perekonomian dan keuangan akibat gejolak politik dari 1942 sampai 1949. Landasan perekonomian yang sama tentunya menimbulkan akibat yang sama bagi unsur-unsur masyarakat: keterasingan mereka dari peranan-peranan yang berarti dalam perekonomian, terlepas dari kenyataan bahwa secara politik dan ideologi mereka telah menang. 

Dalam periode tahun 1950-1965 keterasingan ini telah dicoba untuk diatasi dengan dua cara:  

Pertama,  dengan tetap mempertahankan berlangsungnya kapitalisme periferal, tetapi dengan pengusahaanmelalui kebijaksanan negara, bantuan kredit dan fasilitas–agar unsur-unsur masyarakat pribumi berperanan di dalamnya dan dengan begitu mengubah distribusi kekuatan ekonmi dan pola pemilikan aset-aset produktif ke tangan masyarakat pribumi. 

Kedua,  dengan cara menghancurkan kapitalisme periferal, melalui pemutusan hubungan dengan pasar internasional, dan secara politik mengubah pemilikan aset-aset produktif dan distribusi kekuatan ekonomi, serta menggantikan pasar dengan sistem ekonomi komando. Namun kekukuhan dan ketegaran struktur kapitalisme periferal telah menghalangi kedua usaha tersebut. 

Halangan struktural kapitalisme periferal terhadap kedua usaha tersebut pada prinsipnya terwujud dalam bentuk stagnasi dan dislokasi perekonomian secara keseluruhan bila hubungan dengan pasaran internasional mengalami kesulitan atau diputuskan sama sekali. Ini nampak jelas sekali dalam perkembangan setelah selesainya  boom  Perang Korea pada 1952 sampai 1966. Usaha untuk mengatasi keterasingan masyarakat pribumi dari perananperanan penting dalam perekonomian melalui cara yang pertama bukan hanya telah gagal, tetapi malahan telah mengikis habis dasardasar dan kekuatan unsur-uhsur masyarakat untuk mempertahankan supremasi politik dan ideologi mereka. 

Sedangkan cara kedua yang mulai dilancarkan pada akhir tahun 1957 pada nyatanya bukan memperkuat unsur-unsur masyarakat dalam peranan-peranan ekonomi, tetapi telah membuka jalan bagi peranan luas sektor negara.

Sumber: Farchan Bulkin dalam bukunya Negara, Masyarakat, dan Ekonomi.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Nasionalisme dan Masyarakat"

Post a Comment