Sosiologi Ekonomi : Bab 5 Konsumsi
KONSUMSI
A. Pengertian Konsumsi
Menurut Don Slater (1997), konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu (dalam hal ini material, barang simbolik, jasa atau pengalaman) yang dapat memuaskan mereka.
Menurut Don Slater (1997), konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu (dalam hal ini material, barang simbolik, jasa atau pengalaman) yang dapat memuaskan mereka.
Berhubungan dengan sesuatu yang dapat memuaskan mereka dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menikmati, menonton, melihat, menghabiskan, mendengar, menghabiskan, memperhatikan dan lainnya. Jadi, pengertian konsumsi dari Slater tersebut sesuai dengan istilah mengkonsumsi seperti yang dikutip Featherstone (2001) dari Raymond Williams, sebagai merusak (to destroy), memakai (to use up), membuang (to waste) dan menghabiskan (to exhaust).
B. Pandangan Para Pakar Sosiologi tentang Konsumsi
Karl Marx (1818-1883). Dalam membahas komoditas, Marx membedakan membedakan antara alat-alat produksi (means of production) dan alat-alat konsumsi (means of consumption).
B. Pandangan Para Pakar Sosiologi tentang Konsumsi
Karl Marx (1818-1883). Dalam membahas komoditas, Marx membedakan membedakan antara alat-alat produksi (means of production) dan alat-alat konsumsi (means of consumption).
Marx mendefinisikan alat-alat produksi sebagai komoditas yag memiliki suatu bentuk dimana komoditas memasuki konsumsi produktif (1884/1891:471) sedangkan alat-alat konsumsi didefinisikan sebagai kmoditas yang memiliki suatu bentuk dimana komoditas itu memasuki konsumsi individual dari kelas kapitalis dan pekerja (1884/1891:471)
Konsekuensi logis dari pembagian tersebut adalah mengklasifikasikan jenis konsumsi, yaitu konsumsi subtensi dan konsumsi mewah. Konsumsi substensi merupakan alat-alat konsumsi yang diperlukan (necessary means of consumption) atau yang memasuki konsumsi kelas pekerja.
Konsekuensi logis dari pembagian tersebut adalah mengklasifikasikan jenis konsumsi, yaitu konsumsi subtensi dan konsumsi mewah. Konsumsi substensi merupakan alat-alat konsumsi yang diperlukan (necessary means of consumption) atau yang memasuki konsumsi kelas pekerja.
Dengan demikian, semua alat-alat konsumsi seperti bahan kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan) dipandang sebagai konsumsi substensi. Sedangkan konsumsi mewah adalah alat-alat kosumsi mewah (luxury means of consumption) yang hanya memasuki konsumsi kelas kapitalis yang dapat dipertukarkan hanya untuk pengeluaran dari nilai surplus, yang tidak diberikan kepada pekerja.
Emile Durkheim (1858-1917). Menurut Durkheim, masyarakat terintegrasi karena adanya kesadarn kolektif (collective consciousness), yaitu totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentiment-sentimen bersama (1964). Ia merupakan suatu solidaritas yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan-kepercayaan dan pola normative yang sama pula.
Durkheim membagi masyarakat atas dua tipe, yaitu masyarakat yang berlandaskan solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Dalam masyarakat berlandaskan solidaritas mekanik, kesadaran kolektif meliputi keseluruhan masyarakat beserta anggotanya dan dengan intensitas tinggi seperti keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang dengan menggunakan hokum represif.
Emile Durkheim (1858-1917). Menurut Durkheim, masyarakat terintegrasi karena adanya kesadarn kolektif (collective consciousness), yaitu totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentiment-sentimen bersama (1964). Ia merupakan suatu solidaritas yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan-kepercayaan dan pola normative yang sama pula.
Durkheim membagi masyarakat atas dua tipe, yaitu masyarakat yang berlandaskan solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Dalam masyarakat berlandaskan solidaritas mekanik, kesadaran kolektif meliputi keseluruhan masyarakat beserta anggotanya dan dengan intensitas tinggi seperti keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang dengan menggunakan hokum represif.
Kesadaran kolektif dalam masyarakat berlandaskan solidaritas mekanik menuntun anggotanya untuk melakukan konsumsi yangtidak berbeda antara satu sama lain, seragam dalam cara dan pola konsumsi seperti pola pangan, sandang dan papan.
Masyarakat berlandaskan solidaritas organik telah mengalami transformasi ke dalam suatu solidaritas yang diikat oleh pembagian kerja sehingga intensitas kesadaran kolektif hanya mencakup kalangan masyarakat terbatas yang berada pada jangkauan ruang kesadaran kolektif itu saja.
Masyarakat berlandaskan solidaritas organik telah mengalami transformasi ke dalam suatu solidaritas yang diikat oleh pembagian kerja sehingga intensitas kesadaran kolektif hanya mencakup kalangan masyarakat terbatas yang berada pada jangkauan ruang kesadaran kolektif itu saja.
Intensitas kesadaran kolektif seperti itu mencerminkan individulitas yang tinggi, pentingnya konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum seperti hukum pidana dan hukum perdata, dan dominannya hukum restitutif, yaitu hukum yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan menjadi keadaan seperti semula melalui hukum yang bersifat memulihkan.
Max Weber (1864-1920). Menurut Weber, agama protestan memberikan dorongan motivasional untuk menjadi seseorang yang memiliki suatu orientasi agama yang bersifat asketik dalam dunia (inner-Worldly asceticism), yaitu suatu komitmen untuk menolak kesempatan atau sangat membatasi diri untuk menuruti keinginan jasadi atau inderawi, atau kenikmatan yang bersifat materialistik, termasuk cara konsumsi tertentu, demi meraih suatu tujuan spiritual yang tinggi, yaitu keselamatan abadi, melalui pekerjaan di dunia yang dianggap sebagai suatu panggilan suci.
Max Weber dalam Economy and Society menyatakan bahwa tindakan konsumsi dapat dikatakan sebagai tindkan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku dari individu lain dan oleh karena itu diarahkan pada tujuan tertentu. Sedangkan tindakan sosial itu sendiri menurut Weber terdiri dari:
Kapitalisme seperti ini memunculkan abseente owner, yaitu para pemilik modal yang tidak mengerjakan apa-apa tetapi memperoleh hasil yang banyak. Dengan kata lain abseente owner tersebut memiliki atau menguasai sekelompok perusahaan-perusahaan yang beragam, tetapi idak mengelola sendiri perusahaan-perusahaan tersebut namun mempekerjakan para profesional dan teknisi. Selanjutnya mereka tinggal memetik dan menikmati hasil usaha perusahaannya, tanpa berbuat banyak.
C. Fokus Kajian Sosiologi tentang Konsumsi
Adapun fenomena-fenomena yang termasuk dalam fenomena konsumsi sebagai berikut:
Max Weber (1864-1920). Menurut Weber, agama protestan memberikan dorongan motivasional untuk menjadi seseorang yang memiliki suatu orientasi agama yang bersifat asketik dalam dunia (inner-Worldly asceticism), yaitu suatu komitmen untuk menolak kesempatan atau sangat membatasi diri untuk menuruti keinginan jasadi atau inderawi, atau kenikmatan yang bersifat materialistik, termasuk cara konsumsi tertentu, demi meraih suatu tujuan spiritual yang tinggi, yaitu keselamatan abadi, melalui pekerjaan di dunia yang dianggap sebagai suatu panggilan suci.
Max Weber dalam Economy and Society menyatakan bahwa tindakan konsumsi dapat dikatakan sebagai tindkan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku dari individu lain dan oleh karena itu diarahkan pada tujuan tertentu. Sedangkan tindakan sosial itu sendiri menurut Weber terdiri dari:
- Weckrationalitat / instrumentally rational action / tindakan rasional instrumental yaitu tindakan yang berdasarkan pertimbangan yang sadar terhadap tujuan tindakan dan pilihan dari alat yang dipergunakan.
- Wertrationalitat / value rational action / tindakan rasional nilai yaitu suatu tindakan dimana tujuan telah ada dalam hubungannya dengan nilai absolut dan akhir bagi individu.
- Affectual type / tindakan afektif, yaitu suatu tindakan yang di dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar seperti cinta, marah, suka, atau duka.
- Traditional action / tindakan tradisional yaitu tindakan yang dikarenakan kebiasaan atau tradisi.
Kapitalisme seperti ini memunculkan abseente owner, yaitu para pemilik modal yang tidak mengerjakan apa-apa tetapi memperoleh hasil yang banyak. Dengan kata lain abseente owner tersebut memiliki atau menguasai sekelompok perusahaan-perusahaan yang beragam, tetapi idak mengelola sendiri perusahaan-perusahaan tersebut namun mempekerjakan para profesional dan teknisi. Selanjutnya mereka tinggal memetik dan menikmati hasil usaha perusahaannya, tanpa berbuat banyak.
C. Fokus Kajian Sosiologi tentang Konsumsi
Adapun fenomena-fenomena yang termasuk dalam fenomena konsumsi sebagai berikut:
- Masyarakat Konsumsi
- Budaya dan Konsumsi
- Perilaku Konsumsi
- Waktu Luang
- Gaya Hidup
- Fashion
- Pariwara
- Belanja: Sandang, Pangan, Minuman dan Rumah
- Turisme
- Ideologi Konsumsi (Liberal, Kapitalis, Komunis, Islam)
- Politik Konsumsi
- Konsumsi dan Mobilitas Sosial
- Konsumsi dan Perubahan Sosial.
D. Budaya dan Konsumsi pada Masyarakat Prakapitalis
Kehidupan sosial memerlukan benda-benda; karena melalui perolehan, penggunaan, dan pertukaran benda-benda, individu-individu kemudian memiliki kehidupan sosial (Lury, 1998:16). Dengan kata lain, kehidupan sosial individu-individu tidak terlepas dari hubungan dengan benda-benda yang diberi nilai pemaknaannya (Douglas dan Isherwood, 1979)
Dalam kaitannya denhan pendapat Lury serta Douglas dan Isherwood tersebut, terdapat beberapa pemaknaan sosial terhadap konsumsi benda-benda dalam kehidupan sosial masyarakat pra-kapitalis:
a). Konsumsi sebagai Pembeda antara Kehidupan Profan dan Kehidupan Suci.
Misalnya mengkonsumsi buah yang ada di atas meja makan mempunyai makna sebagai konsumsi dalam dunia profan, konsumsi dalam kehidupan keseharian. Sedangkan keranjang buah yang diletakkan di bawah pohon rindang yang besar dan angker yang biasa disebut dengan sesajen merupakan konsumsi di kehidupan suci atau di kehidupan Sakral.
b). Konsumsi sebagai Identitas.
Rutherford (1990) dalam bukunya “Identity: Community, Culture, Difference” menyatakan bahwa identitas merupakan mata rantai masa lalu yang hubungan-hubungan sosial, kultural dan ekonomi dalam ruang dan waktu suatu masyarakat hidup.
Kehidupan sosial memerlukan benda-benda; karena melalui perolehan, penggunaan, dan pertukaran benda-benda, individu-individu kemudian memiliki kehidupan sosial (Lury, 1998:16). Dengan kata lain, kehidupan sosial individu-individu tidak terlepas dari hubungan dengan benda-benda yang diberi nilai pemaknaannya (Douglas dan Isherwood, 1979)
Dalam kaitannya denhan pendapat Lury serta Douglas dan Isherwood tersebut, terdapat beberapa pemaknaan sosial terhadap konsumsi benda-benda dalam kehidupan sosial masyarakat pra-kapitalis:
a). Konsumsi sebagai Pembeda antara Kehidupan Profan dan Kehidupan Suci.
Misalnya mengkonsumsi buah yang ada di atas meja makan mempunyai makna sebagai konsumsi dalam dunia profan, konsumsi dalam kehidupan keseharian. Sedangkan keranjang buah yang diletakkan di bawah pohon rindang yang besar dan angker yang biasa disebut dengan sesajen merupakan konsumsi di kehidupan suci atau di kehidupan Sakral.
b). Konsumsi sebagai Identitas.
Rutherford (1990) dalam bukunya “Identity: Community, Culture, Difference” menyatakan bahwa identitas merupakan mata rantai masa lalu yang hubungan-hubungan sosial, kultural dan ekonomi dalam ruang dan waktu suatu masyarakat hidup.
Oleh karena itu identitas seseorang berkaitan dengan aspek sosial, budaya, ekonomi dan politik dari kehidupan pada konteks ruang dan waktu. Karena identitas berkait dengan konteks ruang dan waktu maka identitas tersebut dimiliki bersama dengan orang lain dalam konteks ruang dan waktu yang sama (inklusi) tetapi disisi lain terjadi eksklusi, yaitu mengeluarkan orang atau kelompok orang dari suatu kelompok identitas, karena perbedaan ruang dan waktu.
c). Konsumsi sebagai Stratifikasi Sosial.
Stratifikasi Sosial didefinisikan sebagai penggolongan individu secara vertikal berdasarkan status yang dimiliki. Dalam dunia keseharian, status dapat merupakan sesuatu yang diusahakan atau juga dapat merupakan sebagai sesuatu yang diwariskan.
c). Konsumsi sebagai Stratifikasi Sosial.
Stratifikasi Sosial didefinisikan sebagai penggolongan individu secara vertikal berdasarkan status yang dimiliki. Dalam dunia keseharian, status dapat merupakan sesuatu yang diusahakan atau juga dapat merupakan sebagai sesuatu yang diwariskan.
Status yang diusahakan (achieved status) adalah statu yang dicapai melalui usaha atau perjuangan dari individu atau suatu kelompok dalam masyarakat. Sedangkan status yang diwarisi (ascribed status) merupakan status yang disebabkan oleh kelahiran seseorang dari orang yang berasal dari kelompok tertentu.
Dengan adanya Sratifikasi Sosial, maka tidak akan sama konsumsi wasit, pelatih, pemain atau penonton dalam lapangan, dan tidak akan sama juga konsumsi direktur, kepala bagian, karyawan, atasan dan bawahan di sebuah kantor.
E. Budaya Konsumen
Untuk mengerti budaya Konsumen sebgai fenomena sosial pada masyarakat modern, Slater mengidentifikasikan beberapa karakteristik yang dimiliki oleh budaya konsumen, yaitu antara lain:
a). Budaya Konsumen Merupakan Suatu Budaya dari Konsumsi.
Ide dari budaya konsumen adalah dalam dunia modern, praktek sosial dan nilai budaya inti, ide-ide, aspirasi-aspirasi, dan identitas didefinisikan dan diorientasikan pada konsumsi daripada kepada dimensi sosial lainnya seperti kerja, kewarganegaraan, kosmologi keagamaan, peranan militer dan seterusnya.
b). Budaya Konsumen sebagai Budaya dari Masyarakat Pasar.
Dalam masyarakat pasar, barang-barang, jasa-jasa, dan pengalaman-pengalaman diproduksi agar dapat dijual di pasar kepada konsumen.
c). Budaya Konsumen adalah, Secara Prinsip, Universal, dan Impersonal.
Semua hubungan sosial, kegiatan dan objek secara prinsip dapat dijadikan komoditas. Sebagai komoditas, dia diproduksi dan didistribusikan dengan cara impersonal, tanpa melihat orang perorang atau secara pribadi, ditujukan saja kapada konsumen yang membutuhkan atau di buat menjadi membutuhkan.
d). Budaya Konsumen Merupakan Media bagi Hak Istimewa dari Identitas dan Status dalam Masyarakat Pascatradisional.
Budaya konsumen bukan diwariskan seperti posisi sosial yang melekat karena kelahiran dalam masyarakat tradisional, tetapi ia dinegosiasi dan dikonstruksi oleh individu dalam hubungannya dengan orang lain.
e). Budaya Konsumen Merepresentasikan Pentingnya Budaya dalam Penggunaan Kekuatan Modern.
Budaya konsumen mencakup tanda, gambaran, dan publisitas. Sebab itu pula, ia meliputi estesisasi komoditas dan lingkungan seperti penggunaan iklan, pengepakan, tata letak barang di toko, disain barang, penggunaan estalase, dan seterusnya.
f). Kebutuhan Konsumen Secara Prinsip Tidak Terbatas dan Tidak Terpuaskan.Dalam budaya konsumen, kebutuhan yang tidak terbatas dipandang tidak hanya suatu hal yang normal tetapi juga diperlukan bagi tuntutan dan perkembangan sosial ekonomi.
Dengan adanya Sratifikasi Sosial, maka tidak akan sama konsumsi wasit, pelatih, pemain atau penonton dalam lapangan, dan tidak akan sama juga konsumsi direktur, kepala bagian, karyawan, atasan dan bawahan di sebuah kantor.
E. Budaya Konsumen
Untuk mengerti budaya Konsumen sebgai fenomena sosial pada masyarakat modern, Slater mengidentifikasikan beberapa karakteristik yang dimiliki oleh budaya konsumen, yaitu antara lain:
a). Budaya Konsumen Merupakan Suatu Budaya dari Konsumsi.
Ide dari budaya konsumen adalah dalam dunia modern, praktek sosial dan nilai budaya inti, ide-ide, aspirasi-aspirasi, dan identitas didefinisikan dan diorientasikan pada konsumsi daripada kepada dimensi sosial lainnya seperti kerja, kewarganegaraan, kosmologi keagamaan, peranan militer dan seterusnya.
b). Budaya Konsumen sebagai Budaya dari Masyarakat Pasar.
Dalam masyarakat pasar, barang-barang, jasa-jasa, dan pengalaman-pengalaman diproduksi agar dapat dijual di pasar kepada konsumen.
c). Budaya Konsumen adalah, Secara Prinsip, Universal, dan Impersonal.
Semua hubungan sosial, kegiatan dan objek secara prinsip dapat dijadikan komoditas. Sebagai komoditas, dia diproduksi dan didistribusikan dengan cara impersonal, tanpa melihat orang perorang atau secara pribadi, ditujukan saja kapada konsumen yang membutuhkan atau di buat menjadi membutuhkan.
d). Budaya Konsumen Merupakan Media bagi Hak Istimewa dari Identitas dan Status dalam Masyarakat Pascatradisional.
Budaya konsumen bukan diwariskan seperti posisi sosial yang melekat karena kelahiran dalam masyarakat tradisional, tetapi ia dinegosiasi dan dikonstruksi oleh individu dalam hubungannya dengan orang lain.
e). Budaya Konsumen Merepresentasikan Pentingnya Budaya dalam Penggunaan Kekuatan Modern.
Budaya konsumen mencakup tanda, gambaran, dan publisitas. Sebab itu pula, ia meliputi estesisasi komoditas dan lingkungan seperti penggunaan iklan, pengepakan, tata letak barang di toko, disain barang, penggunaan estalase, dan seterusnya.
f). Kebutuhan Konsumen Secara Prinsip Tidak Terbatas dan Tidak Terpuaskan.Dalam budaya konsumen, kebutuhan yang tidak terbatas dipandang tidak hanya suatu hal yang normal tetapi juga diperlukan bagi tuntutan dan perkembangan sosial ekonomi.
0 Response to "Sosiologi Ekonomi : Bab 5 Konsumsi"
Post a Comment