Krisis ekonomi dan basis kelas Islamisme
Friday, 22 November 2019
ilmu sosial,
Islam Politik,
Krisis Ekonomi,
politik,
soiologi politik,
sosiologi ekonomi
Edit
Sebagai tambahan dari krisis politik yang dihadapi nasionalisme sekuler, tahun 1970an juga muncul krisis ekonomi dimana sistem ekonomi kapitalis negara tak mampu mengurusinya dengan efektif. Peralihan ke arah neoliberalisme dan program penyesuaian struktural dari IMF (International Monetary Fund), berarti berbagai negara tak lagi sanggup mengatasi kebutuhan kesejahteraan sosial. Di sinilah organisasi-organisasi Islamis dengan jaringan sosial mereka yang luas mampu membuat terobosan. Dinamika ini bisa dipahami sebagai berikut:
“Sebagai hasil dari penyesuaian struktural, kapasitas negara untuk mengooptasi gerakan oposisi melemah dan pelayanan sosial makin terbatas pada daerah-daerah elit dan kelas menengah perkotaan. Distribusi pendapatan terpolarisasi. Penyesuaian struktural berarti negara tak sanggup menyediakan pelayanan dalam tahap yang stabil untuk menjamin tersedianya komoditi yang cukup… Kekosongan moral dan politik ini lantas memberi jalan lapang bagi kaum Islamis untuk mendominasi gerakan. Dari kondisi ini pula kaum Islamis membangun basis sosialnya, dengan menawarkan pelayanan-pelayanan sosial di mana negara tak sanggup menyediakannya.”
Secara demografis dan geografis, basis utama bagi perekrutan kalangan Islamis di awal tahun 1970an adalah pemuda kota yang terdidik. Antara 1955 dan 1970, populasi yang tumbuh di dunia Muslim mendekati 50 persen. Hingga tahun 1975, dengan urbanisasi dan kemelekhurufan yang berkembang dengan stabil, 60 persen dari populasi ini berumur di bawah 24 tahun. Sementara kelompok ini -yang berasal dari keluarga-keluarga yang baru saja pindah ke kota, memiliki akses pendidikan sebagai hasil dari reformasi yang diundangkan oleh kalangan nasionalis sekuler - memiliki sedikit kesempatan atas keuntungan ekonomi.
Dalam beberapa kasus, negara menawarkan pekerjaan pada para lulusan baru dan sanggup menyerap sebagian dari mereka ke dalam peran sebagai birokrat negara. Meski demikian, seperti yang telah dinyatakan di atas, bahkan kesempatan ini pun menjadi lemah karena kebijakan liberalisasi yang didiktekan oleh IMF dan pemotongan belanja pemerintah yang dilembagakan di negara-negara seperti Mesir dan Aljazair, sehingga menyebabkan gaji para birokrat intelektual dipangkas. Untuk bisa bertahan hidup, kedua kelompok sosial ini terpaksa harus mencari pekerjaan sampingan, seperti menjadi supir taksi atau penjaga malam di sebuah hotel internasional.
Rasa frustrasi dan ketidakpuasan politis yang tumbuh dari kondisi ini membuat para mahasiswa menjadi condong ke arah ideologi Islamis. Meski banyak di antara mereka sebelumnya tertarik dengan komunisme dan nasionalisme, namun kegagalan dari kedua ideologi tersebut, ditambah dengan kesulitan ekonomi lebih mendorong mereka ke arah Islamisme. Jumlah yang cukup besar dari para intelektual muda ini, dididik di sekolah-sekolah pemerintah yang mengikuti kurikulum Barat, datang dari bidang sains (khususnya teknik), dan dari sekolah-sekolah pelatihan keguruan. Ciri khas Islamis di era ini adalah seorang insinyur yang lahir sekitar tahun 1950an, yang orang tuanya berasal dari pedesaan. Gulbuddin Hekmatyar, pemimpin faksi ultra konservatif dari mujahidin Afghan, dilatih sebagai seorang insinyur; Haceni Hashani, juru bicara untuk Gerakan Penyelamatan Islam Aljazair (FIS) di tahun 1991, adalah seorang teknisi minyak; dan Ayman Al-Zawahari dari al Qaeda, adalah seorang dokter medis.
Kepemimpinan intelektual ini menggenggam sebuah pandangan dunia urban modern. Dengan demikian, bertentangan dengan kesimpulan kalangan orientalis, kebangkitan politik Islam kontemporer bukanlah sebuah kemunculan ulang dari lembaga keagamaan di abad pertengahan yang berperang melawan modernitas, melainkan sebuah fenomena urban modern yang lahir dari krisis ciptaan kapitalisme. Seperti yang ditulis Chris Harman, “Islamisme telah bangkit pada masyarakat yang trauma dengan pengaruh kapitalisme – awalnya dalam bentuk penaklukan eksternal oleh penjajahan, dan kemudian semakin bertambah dengan perubahan dari hubungan sosial internal yang mengiringi bangkitnya kelas kapitalis lokal dan terbentuknya sebuah negara merdeka.
Jika pemuda terdidik perkotaan menjadi basis kader dari gerakan Islamis yang baru muncul, kelas lain yang terancam dengan modernisasi kapitalis juga memiliki kecenderungan ke arah Islamisme. Induknya adalah kelas menengah yang saleh, yang juga jadi andalan utama dari gerakan Islamis. Satu bagian dari blok kelas menengah ini terdiri atas keturunan kelas saudagar pemilik bazaar dan pertokoan (souks), lainnya adalah para profesional kaya raya sebagai hasil dari pekerjaannya di berbagai negara penghasil minyak. Sistem keuangan dan perbankan Islami internasional yang dipelopori Saudi Arabia, seperti yang telah dibahas di atas, mampu membiayai dan mendukung kepentingan kelas menengah ini.
Jika kaum muda perkotaan yang terdidik dan kelas menengah yang saleh merupakan kekuatan utama di balik Islamisme, terdapat juga kelas-kelas lain yang mendukung mereka. Seringkali, di negara-negara seperti Mesir, Iran, Turki, dan Pakistan, dua kelas di atas mendapat dukungan dan dana dari kelas-kelas pemilik tanah yang kekuasaannya makin dimarjinalkan oleh kaum nasionalis. Kadang-kadang, mereka juga mendapatkan dukungan dari kelas borjuis besar.
Kelas menengah yang taat/saleh, yang kadang mendapat sokongan dari bagian-bagian lain dari masyarakat, biasanya orientasinya cenderung lebih konservatif dan menjadi sayap ‘moderat’ kaum Islamis. Visi mereka tentang membangun negara Islami, dalam pandangannya lebih pas diterapkan dalam kondisi sosial yang stabil, hal mana bisa memperluas kepentingan ekonomi mereka. Kaum muda perkotaan, sebaliknya, terlantar dari kelas menengah karena kurangnya kesempatan, menyebabkan mereka cenderung lebih terbuka pada taktik yang lebih konfrontasional dan keras; mereka membenarkan sayap ‘radikal’ pada gerakan Islamis. Sering, dua kelompok ini bekerjasama satu sama lain, dan di waktu lainnnya, mereka menempuh jalan yang berbeda.
Singkatnya, bertemunya beberapa perkembangan politik dan ekonomi di akhir tahun 1960an dan awal 1970an, meletakkan dasar bagi tumbuhnya Islam Politik. Ini termasuk, pertama, bagian yang dimainkan oleh negara-negara imperialis, terutama Amerika Serikat, dalam mendukung partai-partai Islam Politik; kedua, kegagalan gerakan nasionalis sekuler dan ketidakmampuan partai-partai Stalinis menawarkan alternatif yang efektif; dan ketiga, krisis ekonomi di berbagai negara yang menunjukkan metode kapitalis tak bisa menyelesaikan masalah, dan neoliberalisme semakin memperburuk keadaan. Semua faktor ini bertemu di beberapa ragam titik dan membantu menggerakkan Islamisme ke panggung dunia.
Sumber:
- Kepel, Jihad, 66.
- Roy, Failure, 49.
- Chris Harman, ‘The Prophet and the proletariat,’ International Socialism Journal, 64, Autumn 1994, tersedia di www.marxist.de/religion/harman/index.htm, 8-10.
- Kepel, Jihad, 6.
- Dreyfuss, Devil’s Game, 161-62.
- Khaled Hroub, Hamas: A B
0 Response to "Krisis ekonomi dan basis kelas Islamisme"
Post a Comment