Konsumtif : Mitos Masyarakat Modern


Awalnya konsumsi muncul dalam aktifitas ekonomi dan menjadi bagian dari pokok bahasan penting dalam ilmu ekonomi. Namun hari ini persoalan konsumsi menggelinding begitu luas dan menarik minat dari berbagai kalangan ahli, mulai dari ahli sosial, seni-budaya, filsafat, bahkan politik dan kebijakan pemerintah juga tak terlepas dari pembahasan tersebut. Meluasnya persoalan konsumsi menjadi pertanda perubahan cara pandang dan pola hidup masyarakat yang mulai bersiap menuju masyarakat konsumsi.

Adalah Jean Paul Baudrillard yang melihat konsumsi telah mengubah pola hidup dan persepsi manusia. Ia mempunyai perspektif unik tentang konsumsi, yaitu bahwa konsumsi dapat dipandang dalam dimensi keselamatan. Pemahaman ini berangkat dari fakta sosial, bahwa masyarakat selalu mendambakan kebahagiaan/kenyamanan demi tujuan keselamatanhidupnya. Ditinjau dari ekonomi, kondisi nyaman akan hadir dalam masyarakat mapan dengan ukuran, pertama melimpahruahnya barang-barang produksi dan kedua masyarakat memiliki kemudahan untuk mengakses apapun yang dibutuhkan.

Kondisi tersebut berbuah dimasa globalisasi pasar dengan menjamurnya mal, hipermarket dan supermarket, bahkan minimarket di berbagai kota besar di dunia tak terkecuali Indonesia. Kita dimanjakan dan dimudahkan di sebuah lokasi dimana di dalamnya segala kebutuhan terpenuhi. Ekonomi kapitalis barat menjadikan konsumsi sebagai faktor produksi. Hal tersebut merupakan paradigma baru dalam pemikiran ekonomi global yang berbeda dengan pemikiran ekonomi klasik yang memandang bahwa faktor produksi yang utama adalah modal.

Melimpah-ruahnya barang-barang produksi menjadi keyakinan modern sebagai syarat terwujudnya masyarakat makmur, sehingga perlu diupayakan di setiap wilayah menerapkan globalisasi pasar bila ingin menjadi masyarakat makmur. Namun justru keyakinan itulah yang menjadi blunder masyarakat modern. Bukannya terwujud masyarakat makmur seperti apa yang diidam-idamkan malah menciptakan kesenjangan sosial yang makin melebar, pendangkalan visi atau makna hidup yang memicu prilaku-prilaku anti sosial.

Seperti apa yang dikemukakan Baudrillard, Masyarakat konsumsi diidentikkan dengan masyarakat pertumbuhan (menuju kemakmuran) yang dalam prosesnya merupakan lingkaran setan pertumbuhan yang dihubungkan dengan pemborosan.Tidak ada masyarakat makmur yang diidam-idamkan mereka selama ini, justru yang ada adalah kemiskinan struktural.

Terkait konteks tersebut, mengutip Baudrillard, “this whole moral vision of waste as dysfunction needs to be reviewed from the perspective of a sociological analysis which would bring out its true functions” (Baudrillard, 1998: 44). Konsumsi tidak lagi dinilai lagi secara fungsi, tapi diambil alih oleh simbol yang telah melewati proses simulasi sehingga mengaburkan fungsi itu sendiri. Sehingga yang terjadi adalah tidak adanya timbal balik dalam hubungan sosial.Hubungan sosial bukan lagi karena kebutuhan (nilai fungsi) melainkan diganti pertukaran simbolik (status atau identitas).

Pemborosan adalah bentuk perbuatan kesia-siaan, namun dalam masyarakat modern, pemborosan menjadi logis, yaitu sebagai penyeimbang kesenjangan sosial antara kelas dominan dengan kelas bawah. Orang miskin gak perlu susah-susah bila ingin diterima atau dikatakan kelas atas, hanya cukup berpenampilan mewah orang itu akan diterima dan dipersepsikan kaya oleh sosial. Biar bisa disebut intelektual cukup anda konsumsi istilah-istilah ilmiah dan anda pergunakan dalam berbicara.

Cukup anda pakai peci dan berbusana muslim sambil berbicara menggunakan dalil bahasa arab, anda akan disebut ustadz. Inilah yang disebut kemiskinan struktural, suatu usaha pemenuhan kebutuhan simbolik atau atribut terus menerus agar diterima dilingkungan sosialnya.Akhirnya pemiskinan dengan pemborosan sebagai hal yang logis dilakukan agar kita diterima sosial.

Baudrillard dalam The Consumer Society (1998) mengatakan bahwa pembahasan tentang kebutuhan sebelumnya didasarkan pada antropologi naif, bahwa kecenderungan alamiah manusia terhadap kebahagiaan adalah bertujuan keselamatan hidup. Persoalannya bagi Baudrillard adalah bahwa kekuatan ideologi dan pengertian dasar tentang kebahagiaan dalam zaman modern sebenarnya tidak datang dari kecenderungan alamiah, melainkan lahir dari sosio-historisbahwa kebahagiaan adalah kesamaan hak dan kebebasan bagi setiap orang, sehingga kebahagiaan harus terukur, ini yang dimaksud oleh Baudrillard, “The fact that happinessinitially has that signification and that ideological function has important consequences for its content: to be vehicle of the egalitarian myth, Happiness has to be measurable” (Baudrillad, 1998: 49).

Analisis Baudrillard tentang mitos kebahagiaan berangkat dari pengamatannya terhadap dampak kekerasan politik dan sosiologis masyarakat modern akibat Revolusi Industri dan revolusi-revolusi abad XIX menyebabkan perhatian masyarakat terfokus pada usaha mencapai kebahagiaan. Pandangan masyarakat modern sebagaimana pengaruh positivisme, kebahagiaan sering disejajarkan dengan kemapanan yang dapat diukur dengan objek-objek dan tanda-tanda kenyamanan. Kebahagiaan sebagai kenikmatan total dan bersifat batiniah tergantung pada tanda-tanda yang tercermin dalam pandangan hidup masyarakat.

Baudrillard memandang bahwa revolusi kemapanan adalah pewaris dan pelaksana pesan-pesan revolusi borjuis atau secara sederhana menegakkan semua prinsip-prinsip persamaan hak kalangan borjuis. Prinsip kesamaan hak ini ditransformasi dari persamaan yang nyata dalam hal kapasitas, tanggung jawab, kesempatan sosial, kebahagiaan ke dalam penyamarataan di depan objek dan tanda-tanda lain yang tampak dari keberhasilan dan kebahagiaan (bonheur) sosial.

Oleh karenanya konsumsi sehari-hari makin lama makin signifikan dengan upaya pemenuhan kedudukan sosial atau penerimaan sosial, sehingga makna konsumsi berubah menjadi hierarki sosial yang tajam; berdasarkan jenis pekerjaan dan tanggung jawab, tingkat pendidikan dan budaya. Konsumsi menjadi tanda-tanda perbedaan dan pengeluaran antara dua kategori sosial yang ekstrem.Angka-angka diskriminasi atau status sosial dihubungkan dengan kualitas barang yang dicari.

Hasrat sebagai Logika Sosial Diferensiasi
Pandangan Baudrillard tentang konsumsi sebagai dimensi keselamatan didasarkan pada pengamatan bahwa pada umumnya objek-objek hanya sekadar tiruan yang seolah-olah hal itu merupakan inti dalam kehidupan sosial.  Pada hakikatnya terdapat tujuan akhir yang diidam-idamkan yaitu keselamatan.

Melalui logika sosial diferensiasi, status menghantui lingkungan objek-objek, memotivasi sikap orang yang memuja (mengagungkan) barang-barang sepele yang dianggap bermakna, seperti cindera mata (gadget) sebagai tanda ucapan selamat. Konsumsi menjadi tanda keselamatan seseorang yang direpresentasikan melalui cindera mata. Demikian halnya dengan prestise juga mencerminkan dimensi keselamatan dari makna konsumsi. Logika sosial inilah yang meletakkan keselamatan melalui objek.

Demi prestise dan status sosial, orang terdorong untuk mengonsumsi suatu objek yang menandai kelas sosialnya. Berbagai bentuk atribut dari yang sederhana hingga yang mewah menjadi bukti tanda keselamatan seseorang dalam keberhasilannya meraih apa yang didambakan dalam hidupnya, seperti souvenir ucapan selamat atas perkawinan, keberhasilan studi (ijazah), perayaan ulang tahun, dan lain-lain.

Menurut Baudrillard terdapat keajaiban konsumsi, “What we have here is simply the private and and collective consumer mentality” (Baudrillard, 1998: 32). Ini sesuai dengan eksistensi diri manusia, yaitu sebagai makhluk individu dan kolektif.Kodrat manusia sebagai makhluk sosial menjadi dasar pertimbangannya dalam berkonsumsi.

Hakekat konsumsi bukan hanya merupakan objek kepuasan dan kesenangan individu, melainkan seluruh apa yang disebut Baudrillard the locus of consumption: daily life (Baudrillard, 1998: 35). Konsumsi terkait dengan hasrat/keinginan individu, maupun kolektif terhadap suatu objek sebagaimana komentar George Ritzer berikut dalam pengantarnya terhadap pandangan Jean Baudrillard tentang konsumsi. “Consumption is not merely a frenzy of buying a profusion of commodities, a function of enjoyment, an individual function, liberating of needs, fulfilling of the self, affluence, or the consumption of objects. Consumption is an order of significations in a `panoply’ of objects; a system, or code, of signs; `an order of the manipulation of signs’; the manipulation of objects as signs; a communication system (like a language); a system of exchange (like primitive kinship); a morality, that is a system of ideological values; a social function; a structural organization; a collective phenomenon; the production of differences; `a generalization of the combinatorial processes of fashion`; isolating and individualizing; an unconscious constraint on people, both from the sign system and from the socio-economico-political system; and a social logic ”(Baudrillard, 1998: 15-16).

Kutipan di atas menegaskan, makna konsumsi bersifat multi dimensi, sebagai integrasi sosial yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang berlandaskan hasrat, baik materiil, spiritual, jasmani, maupun rohani.Konsumsi adalah tanda-tanda, sistem komunikasi, system ideologi dan identitas kedirian (status sosial), bahkan konsumsi dapat bersifat semu/palsu dan itu semua adalah hasrat manusia.Pandangan inilah yang membedakan Baudrillard dengan para ekonom sebelumnya yang hanya memandang konsumsi sebagai fungsi pemenuhan kebutuhan berdasarkan faedah (utility) suatu objek/barang.

Bagaimana ini bisa terjadi? Tatanan hari ini menurut Baudrillard, telah didasarkan oleh logika sosial diferensiasi yang bertumpu pada pemuasan kebutuhan dan kesenangan melalui konsumsi. Konsumsi hanyalah manifestasi hasrat, media massa adalah rayuan. Globalisasi memanfaatkan mesin hasrat tersebut untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat konsumsi. Hasrat diproduksi sebagai komoditi dengan mengeksplorasi segala potensi manusia melalui rayuan/godaan media massa.

Ketergodaan adalah hal kodrati bagi manusia.Kita ingat bagaimana Adam, nenek moyang kita diusir dari surga akibat tak dapat mengekang hasrat. Baudrillard berujar, “Seduction is stronger than power because it is reversible and mortal, while power, like value, seeks to be irreversible, cumulative and immortall” (Baudrillard, 1990: 46). Hasrat adalah pakaian bawaan manusia untuk mendandani kehidupan.Karena hal kodrati inilah, manusia menjadi arena ketergodaan berbagai hasrat mengaktual. Berebutan tempat untuk dipenuhi. Terlepas pelampiasan hasrat ‘baik-buruk’ dalam perspektif religi, hasrat adalah representasi ‘kita’ yang tak selamanya bisa dikontrol. Walau dalam beberapa hal cukup sukses meredamnya. Baudrillard menjelaskan bahwa everything is seduction. Rayuan memiliki arti sepadan dengan bujukan yang muaranya memikat keinginan, yang menarik hasrat manusia ke dalam ruang memabukkan.

Baudrillard melihat bahwa kehadiran hasrat lahir dari struktur nilai yang tercipta secara diskursuf.Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumsi ini menurutnya mengejawantah dalam tanda-tanda. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai tanda-tanda yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi.

Menariknya, hasrat tidak akan bisa terpenuhi, oleh karenanya ia selalu direproduksi dalam simulasi-simulasi tanda. Seperti yang dikatakan Baudrillard, “The law of seduction takes the form of an uninterrupted ritual exchange where seducer and seduced constantly raise the stakes in a game that never ends” (Baudrillard, 1990:28). Melalui operasi mesin hasrat diri kita, maka masing-masing dari diri kita akan selalu mencoba untuk mencari dan menemukan objek-objek yang setidaknya dapat membuat kita merasa puas dalam beberapa waktu, untuk kemudian kembali mencarinya lagi. Celakanya, pencarian kepuasan hasrat mengalami stagnasi yang cukup akut, hanya berputar-putar di lingkaran yang sama; beli, beli, dan beli. Hasrat seolah-olah dapat dengan mudah dikenali dan ditandai. Hasrat seolah-olah dapat dengan mudah direngkuh tanpa proses pencarian dan pengendapan, hanya dengan membeli.

Maka konsumsi inilah yang terjadi hari ini, makna konsumsi berubah menjadi fungsi pemisah dan pembeda antara kelas ekonomi yang satu dengan kelas ekonomi lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan peluang setiap subjek dalam kepemilikan terhadap objek-objek tersebut. Perbedaan pendidikan, gender, keturunan, pekerjaan, kedudukan, kemampuan berbelanja, berpengaruh terhadap kesempatan dan kepemilikan terhadap objek yang berbeda.

Sumber:
  • Baudrillard, J.P, The Consumer Society, Myths and Structures. Sage Publications, London. 1998.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Konsumtif : Mitos Masyarakat Modern"

Post a Comment