Sosiologi Politik: Transformasi Perpolitikan Aceh
Friday, 22 November 2019
aceh,
ilmu sosial,
metodologi sosiologi politik,
politik,
Sosiologi politik,
strategi perubahan
Edit
Menurut Anton Aliabbas dalam buku Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca Mou Helsinki, secara teoritik, transformasi adalah sebuah proses yang membawa sebuah perubahan fundamental untuk mengganti sebuah keadaan status quo menjadi lebih baik. Transformasi tidak hanya mencakup kebijakan, institusi dan proses, tetapi juga nilai dan sikap yang didukung juga dengan adanya perubahan lingkungan.
MoU Helsinki yang di tandatangani pada 15 Agustus 2005 lalu tidak hanya membuat perubahan secara fundamental terhadap kondisi perdamaian dan konflik yang terjadi di Aceh tetapi juga telah memaksa GAM untuk melakukan transformasi. Salah satu transformasi yang terjadi adalah transformasi dalam bilang politik.
Untuk lebih jelas, perubahan perpolitikan di Aceh terlihat dari beberapa hal, antara lain:
- Pilkada Langsung
Pilkada langsung yang digelar di provinsi ujung barat pulau sumatra ini adalah pertama kalinya di Indonesia. Pilkada digelar serentak dengan pemilihan bupati/walikota dihampir seluruh daerah. Dengan kata lain, aceh adalah contoh ketika pemilihan gubernur, walikota, dan bupati dipilih secara bersamaan, sehingga adalah wajar jika kemudian tensi politik yang terjadi di Aceh menjadi sangat tinggi.
- Dinamika Internal GAM
Adanya perubahan pola “perjuangan” dari bentuk perlawananan bersenjata menjadi sebuah gerakan politik. Dimana pimpinan GAM membentuk majelis Nasional sebagai badan yang berwenang untuk mengurusi politik dan juga pembentukan Komite Peralihan Aceh (KPA) untuk memantau proses demobilisasi dan reintegrasi mantan kombatan. Pendirian Majelis Nasional adalah dimaksudkan sebagai lembaga yang menyatukan seluruh sumberdaya politik dan ekonomi GAM.
- Transformasi Ekonomi
Selain pada bidang politik, perubahan yang terjadi dalam tubuh GAM adalah pada bidang ekonomi. Keinginan GAM untuk memperkuat sektor ekonomi adalah dampak dari adanya program DPR sebagai salah satu output dari kesepakatan Helsinki. Beberapa kebijakan dan regulasi dikeluarkan pemerintah guna menindaklanjuti MoU tersebut. Inpres No 15 tahun 2005, menyebutkan “ agar gubernur NAD mengelola reintegrasi dan pemberdayaan setiap orang yang terlibat dalam GAM kedalam masyarakat mulai dari: penerimaan, pembekalan, pemulangan, ke kampung halaman dan penyiapan pekerjaan.
Secara teoretik, reintegrasi adalah program dimana mantan kombatan dapat memperoleh kembali status kewarganegaraan termasuk juga akses politik, sosial dan ekonomi seperti warga negara lainnya. Tujuan program ini adalah untuk mendukung usaha eks kombatan kembali ke komunitas masyarakatnya yang difokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar dan kemampuan mereka baik secara ekonomi maupun sosial.
Kebijakan reintegrasi pascakonflik di Aceh dapat dibagi kedalam 3 tahapan program: fase reintegrasi jangka pendek telah dilaksanakan pada kurun waktu 11 Februari- 5 Mei 2006. Reintegrasi jangka menengah dengan target waktu pada 6 Mei- 31 Desember 2006 dan reintegrasi jangka panjang saat ini tengah dilakukan pemerintah sejak 1 Januari 2007 hingga 31 Desember 2007.
- Munculnya Aspirasi Pembentukan Provinsi ALA dan ABAS
Adanya aspirasi pembentukan provinsi ALA (Aceh Leuser Antara) dan ABAS (Aceh Barat Selatan) menjadi salah satu masalah tersendiri bagi pemimpin dipemerintahan Aceh, khususnya dalam mempertahankan teritorial Aceh sesuai ketentuan tahun 1965 dan menjaga perdamaian di Aceh pasca MoU Helsinki.
Secara general Aceh merupakan provinsi yang multietnis. Penduduknya antara lain berasal dari etnis Aceh, Gayo, Alas, Singkil, Aneuk Jamee, Tamiang, Pak-pak, dan Simeuleu. Menurut Aris Ananta, pada tahun 2000 suku Aceh berjumlah sekitar 20% dari total pnduduk NAD, 15,87% suku jawa, suku Gayo 15,46%, Alas 3,89%, singkil 2,55%, Simeulu 2,47%, Batak 2,26% dan Minangkabau 1,09%. Di aceh juga dijumpai keturunan Tionghoa, Arab, India dan tamil.
Aspirasi pemekaran ini dilatarbelakangi oleh perbedaan etnisitas, ekonomi (ketertinggalan pembangunan) dan ideologi (pro-GAM VS anti-GAM) antara daerah-daerah di ALA dan ABAS yang non basis GAM, dengan basis GAM seperti di Aceh Utara, Aceh Timur, Lhoksemawe, Bireuen dan Pidie di pantai Timur Aceh. Kabupaten-kabupaten dikawasan ALA meliputi Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah dan Aceh Singkil.
Sedangkan kawasan ABAS mencakup Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Jaya dan Simeulue. Aparat militer diduga terlibat dalam pembentukan aspirasi ALA dan ABAS sekitar tahun 2001 demi mencegah perluasaan wilayah GAM. Aspirasi pembentukan ALA dan ABAS sebenarnya telah ada sejak tahun 1990-an, namun pembahasan di DPR saat itu tidak menghasilkan keputusan.
Dilihat dari aspek geografi, ALA dan ABAS memang cukup jauh lokasinya dengan ibukota NAD, yaitu Kota Banda Aceh. Dari Banda Aceh ke Singkil (pemekaran dari kab. Aceh Selatan), misalnya, jaraknya sekitar 1000 km. dari medan ke singkil bila lewat darat memakan waktu sekitar 7 jam. Dari gayo lues ke banda aceh juga harus lewat medan. Bila lewat darat memerlukan waktu sekitar 8 jam. Dari medan ke banda aceh lewat darat membutuhkan waktu kira-kira 12 jam, sehingga kurang efektif untuk koordinasi pemerintahan.
Sumber:
Ikrar Nusa Bhakti. 2008. Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca Mou Helsinki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
0 Response to "Sosiologi Politik: Transformasi Perpolitikan Aceh"
Post a Comment