Sosiologi Politik: Perkembangan Perpolitikan Aceh


Sejarah perpolitikan Aceh sangatlah panjang dan penuh warna. Semenjak dari dulu kala, dimana Aceh masih menganut system pemerintahan berbasis monarki atau masih dipimpin oleh Raja-Raja sampai sekarang yang menganut system pemerintahan demokratis, Aceh tak bisa dipisahkan dari politik. Dalam makalah ini, perpolitikan di Aceh akan digambarkan setelah perdamaian saja, atau pasca MOU Helsinki. Hal ini mengingat sejarah perpolitikan dan dinamika politik Aceh itu sendiri yang begitu luas dan panjang, dan tak mungkin habis dibahasa dalam penulisan ini.

Penandatanganan Nota Kesepahaman ( Memorandum of Understanding, MoU) antara pemerintahan RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 5 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, merupakan peristiwa bersejarah dalam tiga puluh tahun konflik di aceh. Kedua pihak bersepakat untuk melaksanakan MoU Helsinki segera setelah penandatanganan kesepakatan perdamaian itu. Kondisi ekonomi masyarakat diharapkan segera meningkat berbarengan dengan stabilnya kondisi keamanan. Namun begitu, sejak upaya pelaksanaan MoU Helsinki, jenis konflik telah berubah dari konflik vertical, antara pemerintah pusat dengan GAM menjadi konflik horizontal antar komponen masyarakat, terutama berkaitan dengan distribusi kompensasi ekonomi bagi mantan anggota GAM dan penguasaan aset-aset ekonomi dan politik oleh para mantan kombatan.

Dimulai sejak masa orde baru, ketika presiden Soeharto melanjutkan kebijakan pendahulunya yang berjanji untuk memberikan Aceh status daerah istimewa dan penerapan syariat islam, sampai kepada Soeharto yang memberi izin untuk eksploitasi kekayaan Aceh kepada AMerika Serikat, yaitu membuka industry besar di Aceh dibidang eksplorasi minyak dan gas di Arun pada tahun 1970an. Aceh sudah mulai menggerakkan pemberontakan dalam skala kecil namun akhirnya konflik kecil itu padam atau mati suri.

Kemudian. pemberontakan di Aceh muncul kembali dengan nama baru yaitu  Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Hasan Tiro. Walau gerakan ini baru didirikan pada 20 Mei 1977, Hasan Tiro memilih hari lahir GAM pada tanggal 4 Desember 1976. Sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatra. Kalau dulu Daud Beureueh dan Darul Islam hanya berupaya mendirikan Negara Islam Indonesia tanpa ada keinginan memisahkan diri dari RI, GAM bercita-cita mendirikan negara merdeka dan terpisah dari RI. Walau usaha itu kemudian berhasil dibendung dan dihancurkan dengan kekuatan militer pada Mei 1977, gerakan itu kembali mencuat pada tahun 1989 dan meningkat pesat pada akhir 1998 atau pada era Reformasi.

Sejak pendirian GAM, konflik di Aceh dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: tahap pertama, 1976-1979 GAM hanya merupakan kelompok separatis kecil didirikan oleh 70 orang cendikiawan yang tersebar hanya di kampong Hasan Tiro, Pidie.  Gerakan ini dipadamkan dengan operasi intelijen militer, memaksa Hasan Tiro untuk mengasingkan diri ke Swedia sejak tahun 1979; tahap kedua, 1989-1998 GAM menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintah pusat. 

Sejak 1989 GAM mulai melakukan serangan sporadic terhadap pos TNI dan POLRI di Aceh. GAM menjadi semakin kuat sejak kembalinya sekitar 800 anggotanya yang diduga berlatih kemiliteran di Libya pada kisaran waktu pertengahan dan akhir tahun 1980-an, serta anggota lain sejumlah 115 yang dilatih oleh gerilya muslim di Mindanao Filipina, beberapa anggota GAM lsinnya dikabarkan berlatih kemiliteran di Afghanistan.

Sumber: Dokumen Pribadi

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sosiologi Politik: Perkembangan Perpolitikan Aceh"

Post a Comment