Sosiologi Pendidikan: Kearifan Lokal dan Pendidikan

Kearifan Lokal dan Pendidikan di Aceh dalam Sistem Pendidikan Nasional


Tumanggor (1999) menyatakan bahwa kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Pemenuhan kebutuhan pokok manusia “human basic needs” tersebut meliputi seluruh unsur kehidupan yang berwujud aktifitas yang dilakukan yaitu meliputi agama, ekonomi, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, Bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Kearifaan lokal yang dituangkan ke dalam “local wisdom” berupa kebijakan atau “local knowledge” ilmu pengetahuan atau “local genious” yang berupa kecerdasan.

Kebudayaan terdiri dari tiga lapisan, yaitu idea, aktivitas sosial dan artifak. Idea terletak dari pemikiran manusia yang merupakan bagian dari jiwa, aktivitas sosial letaknya pada sikap dan perilaku berupa kegiatan agama, sedangkan artifak merupakan hasil karya dari kegiatan bersama tersebut.

Dalam konteks ke-Acehan, kearifan lokal masyarakat Aceh antara lain “Udep Sare Mate Syahid” yang maknanya “Meninggak diterima Allah SWT”, “Hukom ngen Adat Lagei Zat ngen Sifeut” mengandung makna bahwa “Hukum dengan Adat Seperti Zat dengan Sifat”. Kemudian “Hukom Bak Syiah Kuala, Adat baak Po Teumeuruhom, Reusam Bak Bentara”, yang maknanya adalah kalau masalah hokum agama ada di bawah kewenangan ulama (Syiah Kuala).

Pendidikan sebagaimana pada masa perang kemerdekaan, digerakkan di dayah-dayah tempat generasi muda. Nilai yang ditanam digunakan untuk memperkuat gerakan perlawanan terhadap pemerintahan Belanda. Pada perkembangannya, masa pergelokan DI TII, rakyat Aceh menggunakan kearifan lokal untuk memperjuangkan keistimewaan Aceh dalam 3 bidang, yaitu bidang agama, adat istiadat, dan bidang pendidikan.

Khusu dalam bidang pendidikan, Aceh pada saat itu semakin gencar dengan pendidikan melalui dayah-dayah. Namun seiring berjalan waktu, dari beberapa literatur menunjukkan bahwa pendidikan setingkaat sekolah dasar, telah mulai digalakkan. Pada umur 6 atau 7 tahun anak Aceh dibawa ke suatu tempat belajar atau sekolah (Hoesin, 1970: 77). Meskipun pada masa itu, masyarakat Aceh masih cenderung pada pendidikan di dayah yang sarat dengan nilai islami di bawah asuhan ulama untuk generasi ulama ke depan. Pada masa itu pendidikan lebih intensif dan mempunyai tangga urutan yang relatif lebih berurutan dalam pengajaran agama (Ismuha, 1979 (dalam Tumanggor dkk, 1981/1982)).

Masa Orde Baru, dengan adanya modernisasi besar-besaran di bidang pendidikan secara nasional seperti di negara berkembang lainnya, demikian juga tahun 700-an mulai dibangun SD Inpres hampir di seluruh Aceh. Pada saat itu anak-anak yang masuk sekolah tersebut tanpa dipunguti biaya. Sesuai dengan tujuan sekolah modern yaitu untuk menanamkan nilai modern, maka pada SD Inpres juga mengaajarkan nilai tersebut. Sesuai dengan Aceh sebagai daerah Istimewa sejak tahun 1956 dalam bidang yang telah disebutkan di atas, maka pada murid SD di Aceh juga diajarkan nilai-nilai lokal yang menyangkut dengan ajaran agama islam.

Pasca konflik dan pada masa damai Tahun 2005, rakyat Aceh telah memiliki undang-undang Nomor 11 Tahun 2006, pada Bab XXX, Pasal 215 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan satu kesatuan dengan system pendidikan Nasional yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi dan kebutuhan masyarakat setempat. Pasal 216 ayat 2 pendidikan diselenggarakan berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai islam, budaya, dan kemajemukan bangsa.

Selanjutnya Qanun Nomor 23 Tahun 2002, BAB II, Pasal 2 menyebutkan bahwa pendidikan di Aceh berdasarkan pada Al-Quran, Hadits, Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, serta nilai-nilai dan budaya masyarakat Aceh. Pada Pasal 3, pendidikan Aceh berfungsi untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian peserta didik dalam rangka mewujudkaan masyaarakat Aceh yang berperadaban dan bermartabat. Sedangkan pasal 4 menyebutkan bahwa pendidikan Aceh bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berahklak mulia, berpengetahuan, cerdas, calkap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab. Ketiga pasal tersebut menjadi dasar pendidikan Aceh pada saat ini yang dijabarkan ke dalam Renstra 2007-2012.

Adapun Mandiri dan Demokratis yang dimaksud dalam Qanun 2002 diatas, merupakan nilai lokal ke-Acehan yang mempunyai nilai-nilai yang diungkapkan Inkeles dalam teorinya “Modernitas Individu” Inkeles menyebutkan bahwa nilai-nilai modern dapat ditanamkan melalui mekanisme sekolah. Berarti, dalam penyelenggaraan pendidikan di Aceh terdapat benang merah antara penanaman nilai modern dengan nilai-nilai budaya maupun kearifan lokal masyarakat Aceh.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sosiologi Pendidikan: Kearifan Lokal dan Pendidikan"

Post a Comment