Kapitalisme Global: Kesenjangan Negara Dunia Ketiga
Kesejangan Global
Kita semua mengetahui bahwa kemajuan dalam globalisasi memang baik, para kritikus globalisasi juga berkata demikian, tetapi sekalipun memang benar bahwa kaum mayoritas itu telah menjadi lebih makmur, bukankah kesenjangan saat ini justru semakin menganga? Orang-orang dan negara-negara kaya mampu memperbaiki nasib mereka lebih cepat ketimbang yang lain.
Akibatnya, ketidaksetaraan pun meningkat. Para pengkritik menunjukkan fakta bahwa jika 40 tahun lalu PDB per kapita gabungan 20 negara terkaya mencapai ukuran 15 kali dari PDB gabungan 20 negara termiskin, maka sekarang jumlahnya telah meningkat sekitar 30 kali.
Ada dua alasan mengapa keberatan terhadap globalisasi, diantaranya ialah:
Pertama, kalaupun benar demikian, hal itu tidak banyak berpengaruh. Jika keadaan semua orang menjadi lebih baik, apa masalahnya kalau ada orang yang dapat meraihnya dengan lebih cepat ketimbang yang lain? Tentunya yang penting adalah bahwa kondisi semua orang menjadi sebaik mungkin, bukan agar satu kelompok lebih baik ketimbang kelompok lain. Hanya mereka yang memandang kekayaan sebagai satu persoalan yang lebih besar daripada kemiskinan sajalah yang mempermasalahkan keadaan di mana beberapa orang berhasil menjadi jutawan ketika orang-orang lainnya menjadi lebih kaya dalam perbandingannya dengan kondisikondisi awal masing-masing. Adalah lebih baik hidup miskin di negara AS yang non-egaliter, di mana garis kemiskinan bagi setiap individu pada 2001 sekitar $9.039 per tahunnya, daripada di negara-negara yang menganut prinsip kesetaraan semacam Rwanda, di mana pada 2001 PDB per kapitanya (setelah daya belinya disesuaikan) sekitar $1.000; atau Bangladesh ($1.750); atau Uzbekistan ($2.500).
Melebarnya kesenjangan ekonomi di negara-negara yang menjalankan reformasi, seperti Cina, seringkali berkaitan dengan pertumbuhan perkotaan yang lebih cepat daripada di pedesaan. Tetapi, mengingat bahwa penurunan kemiskinan baik di kota kota maupun seluruh negara telah berhasil diwujudkan dalam tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, adakah di antara kita yang menginginkan agar perkembangan semacam itu tidak pernah terjadi?
Standar hidup aktual masyarakat miskin, tidak perlu dikatakan lagi, sangat tergantung pada besarnya harga sandang, makan dan papan ketimbang pada apa yang mereka dapatkan bagi uang mereka seandainya mereka berlibur di Eropa. Anehnya, UNDP sendiri dalam HDI-nya menggunakan daya beli uang yang disesuaikan, yang merupakan tolok ukur universal bagi standar hidup. Sementara, angka-angka yang tidak disesuaikan dipergunakannya untuk membuktikan tesis tentang kesenjangan.
Sebuah laporan Institut Politik Luar Negeri Norwegia meneliti kesenjangan global dengan bantuan angka-angka yang telah disesuaikan dengan daya beli. Datanya menunjukkan bahwa ternyata, berbeda dari dugaan umum, sejak akhir 70-an kesenjangan antarnegara telah semakin menurun, terutama pesat sekali antara 1993-1998, dengan semakin lajunya deras globalisasi.
Melalui penelitian serupa yang belum lama ini dilakukan oleh Columbia University, ekonom pembangunan Xavier Sala-i-Martin mengonfirmasi temuan-temuan tersebut. Begitu angka-angka dalam statistik UNDP disesuaikan terhadap daya beli, Sala-i Martin mendapati bahwa kesenjangan di dunia memang telah menurun tajam dalam cara apapun yang biasa dipakai untuk mengukurnya. Bhalla dan Sala-i-Martin secara terpisah juga menemukan bahwa jika kita memfokuskan diri pada kesenjangan antarindividu ketimbang antarnegara, maka kesenjangan global per akhir tahun 2000 mencapai titik terendahnya sejak akhir Perang Dunia II. Estimasi-estimasi yang memperbandingkan satu negara dengan negara lainnya dan bukan perbandingan antarindividu, sebagaimana catatan kedua peneliti, menaksir tingkat kesenjangan riil secara berlebihan, karena dengan cara tersebut keuntungan yang didapat oleh begitu banyak penduduk menjadi terkompensasi oleh kerugian yang dialami oleh sejumlah kecil penduduk lain.
Agregasi statistik per negara memperlakukan Cina dan Grenada sebagai poin data berbobot setara, meski populasi Cina ternyata 12.000 kali populasi Grenada. Begitu fokusnya kita alihkan kepada manusia, dan bukan negara, akan terkuak bukti mencengangkan bahwa dalam 30 tahun terakhir dunia ternyata telah bergerak menuju kesetaraan global. Jika sepersepuluh negara terkaya dan termiskin diperbandingkan, kesenjangan terlihat telah meningkat, yang menyiratkan bahwa sekelompok kecil negara telah tertinggal (kita akan kembali ke masalah ini untuk melihat negaranegara mana saja itu dan apa saja sebab-sebabnya), tetapi studi yang mengkaji semua negara dengan jelas menunjukkan pertumbuhan kesetaraan secara umum. Jika, misalnya, kita bandingkan seperlima orang terkaya dengan yang termiskin, atau sepertiga terkaya dengan sepertiga termiskin, akan bahwa perbedaan-perbedaannya akan semakin mengecil.
Para ekonom biasa mengukur derajat kesenjangan melalui “Koefisien Gini”. Jika nilainya nol, kesetaraan total dianggap terjadi, dan semua orang memiliki sesuatu dalam jumlah sama). Jika nilainya satu, kesenjangan total dianggap terjadi (satu orang menguasai semua). Nilai koefisien gini untuk seluruh dunia telah mengalami penurunan dari 0,6 pada 1968 menjadi 0,52 pada 1997, atau lebih dari 10 persen.
Karena tingkat kesetaraan antara si kaya dan si miskin dalam konteks masing-masing negara tersebut telah bergerak kurang-lebih secara konstan (kesetaraan telah naik hingga separuh, dan juga telah turun separuhnya), maka itu berarti bahwa kesetaraan secara global, berbeda dari perkiraan umum, semakin meningkat. Laporan Bank Dunia 1998/99 antara lain mengulas perbedaan penghasilan antara 20 persen penduduk terkaya dan penduduk termiskin di negara-negara berkembang. Ulasan tersebut tidak saja menunjukkan perbedaan yang, tentu saja, amat besar, tetapi juga fakta bahwa perbedaan ini semakin mengecil di semua benua! Negara-negara pasca-komunis di Eropa Timur adalah pengecualian nyata, di mana kesenjangan telah melonjak di negara-negara yang paling lamban dalam hal reformasi ini.
Laporan UNDP 1999 terlihat menyangkal temuan ini, tetapi simpulan-simpulannya meragukan, dan hal ini bukan semata disebabkan kelalaiannya dalam menyertakan data statistik untuk tahun-tahun ketika kesenjangan mengalami penurunan tercepat, yakni 1995-1997. Statistik tentang kesejahteraan yang dilansir UNDP dalam HDI menunjukkan penurunan kesenjangan global yang bahkan lebih cepat daripada yang diindikasikan dalam laporan Norwegia di atas. HDI menambahkan secara sekaligus berbagai aspek kesejahteraan seperti penghasilan, standar pendidikan, dan usia harapan hidup penduduk. Indeks ini berkisar dari nol (kesengsaraan terparah) hingga satu (kemakmuran sempurna). Indeks HDI untuk 40 tahun terakhir mencatat peningkatan kesetaraan di semua kelompok negara, tetapi peningkatan tercepat terjadi di negara-negara termiskin. Bagi negara-negara OECD, indeks HDI ini meningkat dari 0.8 menjadi 0.91 antara 1960-1993, dan peningkatan yang lebih drastis terjadi di negara-negara berkembang, dari 0.26 menjadi 0.65.
Kita kadang mendengar perkataan orang, atas dasar laporan UNDP yang sama, bahwa kekayaan yang dimiliki seperlima penduduk terkaya dunia 74 kali lebih besar daripada yang dimiliki seperlima penduduk termiskin. Namun jika kita mengukur kekayaan dalam pengertian apa yang dapat diperoleh oleh kelompok-kelompok dengan uang mereka-dengan kata lain, jika angka-angka yang kita pakai telah disesuaikan untuk daya beli, maka seperlima orang terkaya di dunia hanya 16 kali lebih kaya daripada seperlima orang termiskin.
Perhatikan grafik di bawah ini untuk menggambarkan bacaan di atas.
Grafik Perbandingan
Sumber:
Melebarnya kesenjangan ekonomi di negara-negara yang menjalankan reformasi, seperti Cina, seringkali berkaitan dengan pertumbuhan perkotaan yang lebih cepat daripada di pedesaan. Tetapi, mengingat bahwa penurunan kemiskinan baik di kota kota maupun seluruh negara telah berhasil diwujudkan dalam tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, adakah di antara kita yang menginginkan agar perkembangan semacam itu tidak pernah terjadi?
"Orang miskin tidak selalu mengalami kemiskinan. Banyak konsep kemiskinan yang relatif; artinya, alih-alih mengukur seberapa miskinnya seseorang, konsep-konsep tersebut mengatakan seberapa miskinnya seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Satu konsep kemiskinan yang kerap dipakai, antara lain oleh UNDP, menilai seseorang sebagai orang miskin jika mereka memiliki upah sebesar separuh dari pendapatan rata-rata penduduk di negara itu. Artinya, orang yang tergolong kaya di negeri Nepal yang miskin akan dianggap sebagai orang miskin di negara kaya AS. Sebagai konsekuensinya, angka-angka yang relatif ini tidak dapat diperbandingkan secara internasional antara satu dengan lainnya. Mereka yang tergolong miskin di AS tidak selalu berada dalam kondisi yang kita sebut sebagai kemiskinan. Jadi, 72 persen keluarga miskin Amerika memiliki satu mobol atau lebih; 50 persen dari mereka memiliki mesin cuci; 60 persen memiliki microwave; 93 persen, televisi warna; 60 persen video player, dan 41 persen rumah tinggal mereka sendiri (referensi kemiskinan di sini adalah hanya terhadap pendapatan reguler; hanya saja real-estate tidak termasuk dalam tingkat penghasilan ini)."Kedua, tuduhan bahwa kesenjangan telah meningkat, sematamata salah. Anggapan telah meningkatnya kesenjangan global sebagian besar didasari pada statistik yang dipakai UNDP, terutama dalam Human Development Report (HDI) terbitan tahun 1999. Angka-angka ini bermasalah sebab tidak dikoreksi sesuai daya beli. Maksudnya, angka-angka yang dilansir UNDP tidak mempertimbangkan apa yang secara aktual dapat dibeli penduduk dengan uangnya. Jika tidak disesuaikan, angka-angka tersebut hanya menunjukkan nilai kurs resmi mata uang sebuah negara dan nilainya di pasar internasional, dan ini adalah alat yang buruk untuk mengukur kemiskinan.
Standar hidup aktual masyarakat miskin, tidak perlu dikatakan lagi, sangat tergantung pada besarnya harga sandang, makan dan papan ketimbang pada apa yang mereka dapatkan bagi uang mereka seandainya mereka berlibur di Eropa. Anehnya, UNDP sendiri dalam HDI-nya menggunakan daya beli uang yang disesuaikan, yang merupakan tolok ukur universal bagi standar hidup. Sementara, angka-angka yang tidak disesuaikan dipergunakannya untuk membuktikan tesis tentang kesenjangan.
Sebuah laporan Institut Politik Luar Negeri Norwegia meneliti kesenjangan global dengan bantuan angka-angka yang telah disesuaikan dengan daya beli. Datanya menunjukkan bahwa ternyata, berbeda dari dugaan umum, sejak akhir 70-an kesenjangan antarnegara telah semakin menurun, terutama pesat sekali antara 1993-1998, dengan semakin lajunya deras globalisasi.
Melalui penelitian serupa yang belum lama ini dilakukan oleh Columbia University, ekonom pembangunan Xavier Sala-i-Martin mengonfirmasi temuan-temuan tersebut. Begitu angka-angka dalam statistik UNDP disesuaikan terhadap daya beli, Sala-i Martin mendapati bahwa kesenjangan di dunia memang telah menurun tajam dalam cara apapun yang biasa dipakai untuk mengukurnya. Bhalla dan Sala-i-Martin secara terpisah juga menemukan bahwa jika kita memfokuskan diri pada kesenjangan antarindividu ketimbang antarnegara, maka kesenjangan global per akhir tahun 2000 mencapai titik terendahnya sejak akhir Perang Dunia II. Estimasi-estimasi yang memperbandingkan satu negara dengan negara lainnya dan bukan perbandingan antarindividu, sebagaimana catatan kedua peneliti, menaksir tingkat kesenjangan riil secara berlebihan, karena dengan cara tersebut keuntungan yang didapat oleh begitu banyak penduduk menjadi terkompensasi oleh kerugian yang dialami oleh sejumlah kecil penduduk lain.
Agregasi statistik per negara memperlakukan Cina dan Grenada sebagai poin data berbobot setara, meski populasi Cina ternyata 12.000 kali populasi Grenada. Begitu fokusnya kita alihkan kepada manusia, dan bukan negara, akan terkuak bukti mencengangkan bahwa dalam 30 tahun terakhir dunia ternyata telah bergerak menuju kesetaraan global. Jika sepersepuluh negara terkaya dan termiskin diperbandingkan, kesenjangan terlihat telah meningkat, yang menyiratkan bahwa sekelompok kecil negara telah tertinggal (kita akan kembali ke masalah ini untuk melihat negaranegara mana saja itu dan apa saja sebab-sebabnya), tetapi studi yang mengkaji semua negara dengan jelas menunjukkan pertumbuhan kesetaraan secara umum. Jika, misalnya, kita bandingkan seperlima orang terkaya dengan yang termiskin, atau sepertiga terkaya dengan sepertiga termiskin, akan bahwa perbedaan-perbedaannya akan semakin mengecil.
Para ekonom biasa mengukur derajat kesenjangan melalui “Koefisien Gini”. Jika nilainya nol, kesetaraan total dianggap terjadi, dan semua orang memiliki sesuatu dalam jumlah sama). Jika nilainya satu, kesenjangan total dianggap terjadi (satu orang menguasai semua). Nilai koefisien gini untuk seluruh dunia telah mengalami penurunan dari 0,6 pada 1968 menjadi 0,52 pada 1997, atau lebih dari 10 persen.
Karena tingkat kesetaraan antara si kaya dan si miskin dalam konteks masing-masing negara tersebut telah bergerak kurang-lebih secara konstan (kesetaraan telah naik hingga separuh, dan juga telah turun separuhnya), maka itu berarti bahwa kesetaraan secara global, berbeda dari perkiraan umum, semakin meningkat. Laporan Bank Dunia 1998/99 antara lain mengulas perbedaan penghasilan antara 20 persen penduduk terkaya dan penduduk termiskin di negara-negara berkembang. Ulasan tersebut tidak saja menunjukkan perbedaan yang, tentu saja, amat besar, tetapi juga fakta bahwa perbedaan ini semakin mengecil di semua benua! Negara-negara pasca-komunis di Eropa Timur adalah pengecualian nyata, di mana kesenjangan telah melonjak di negara-negara yang paling lamban dalam hal reformasi ini.
Laporan UNDP 1999 terlihat menyangkal temuan ini, tetapi simpulan-simpulannya meragukan, dan hal ini bukan semata disebabkan kelalaiannya dalam menyertakan data statistik untuk tahun-tahun ketika kesenjangan mengalami penurunan tercepat, yakni 1995-1997. Statistik tentang kesejahteraan yang dilansir UNDP dalam HDI menunjukkan penurunan kesenjangan global yang bahkan lebih cepat daripada yang diindikasikan dalam laporan Norwegia di atas. HDI menambahkan secara sekaligus berbagai aspek kesejahteraan seperti penghasilan, standar pendidikan, dan usia harapan hidup penduduk. Indeks ini berkisar dari nol (kesengsaraan terparah) hingga satu (kemakmuran sempurna). Indeks HDI untuk 40 tahun terakhir mencatat peningkatan kesetaraan di semua kelompok negara, tetapi peningkatan tercepat terjadi di negara-negara termiskin. Bagi negara-negara OECD, indeks HDI ini meningkat dari 0.8 menjadi 0.91 antara 1960-1993, dan peningkatan yang lebih drastis terjadi di negara-negara berkembang, dari 0.26 menjadi 0.65.
Kita kadang mendengar perkataan orang, atas dasar laporan UNDP yang sama, bahwa kekayaan yang dimiliki seperlima penduduk terkaya dunia 74 kali lebih besar daripada yang dimiliki seperlima penduduk termiskin. Namun jika kita mengukur kekayaan dalam pengertian apa yang dapat diperoleh oleh kelompok-kelompok dengan uang mereka-dengan kata lain, jika angka-angka yang kita pakai telah disesuaikan untuk daya beli, maka seperlima orang terkaya di dunia hanya 16 kali lebih kaya daripada seperlima orang termiskin.
Perhatikan grafik di bawah ini untuk menggambarkan bacaan di atas.
Grafik Perbandingan
Sumber:
- Michael W. Cox dan Richard Alm, Myths of Rich and Poor: Why We’re Better Off Than We Think (New York: Basic Books, 1999) h. 14-dst.
- Mechior, Telle, dan Wiig. Perkembangan ke arah pemerataan yang lebih besar akan semakin cepat pada dekade-dekade mendatang, dengan tenaga kerja dunia menjadi semakin tua dan dengan demikian berpenghasilan dengan lebih setara; lihat Tomas Larsson, Falska mantran: globaliseringsdebatten efter Seattle (Stockholm: Timbro, 2001), h. 11-dst.
- Bank Dunia, Making Transition Work for Everyone: Poverty and Inequality in Europe and Central Asia (Washington: Bank Dunia, 2000).
0 Response to "Kapitalisme Global: Kesenjangan Negara Dunia Ketiga"
Post a Comment