Kapitalisme Global : Era Globalisasi dan Pengangguran Massal
Wednesday, 6 November 2019
globalisasi,
ilmu sosial,
kapitalisme,
pengangguran,
sosiologi ekonomi
Edit
Globalisasi dan Pengangguran Massal dalam kapitalisme Global
Jika perdagangan bebas terus-menerus membuat produksi semakin efisien, bukankah itu akan menyebabkan lenyapnya peluang kerja? Jika orang Asia mulai memproduksi mobil untuk penduduk Amerika dan orang Amerika Selatan memproduksi daging untuk penduduk negara itu, maka karyawan pabrik mobil dan petani di Amerika Serikat akan kehilangan pekerjaan dan penggangguran pun akan meningkat—atau begitulah argumennya. Orang asing, negara berkembang, dan mesin akan bersaing untuk memproduksi barangbarang yang kita butuhkan, hingga pada akhirnya pekerjaan tidak lagi tersisa untuk kita. Jika semua barang yang kita konsumsi sekarang dapat diproduksi oleh separuh tenaga kerja AS dalam rentang waktu 20 tahun, bukankah itu berarti separuhnya lagi kehilangan pekerjaan?
Begitulah skenario menyeramkan yang digambarkan dalam banyak tulisan anti-globalisasi di zaman kita. Dalam buku The Global Trap, dua orang jurnalis Jerman menyatakan bahwa di masa depan 80 persen populasi tidak akan diperlukan lagi dalam proses produksi. Pembaca Amerika mungkin lebih akrab dengan One World, Ready or Not: The Manic Logic of Global Capitalism, sebuah kitab tebal yang di dalamnya William Greider, saat itu reporter Rolling Stone, mengeluhkan bahwa pasokan global telah melebihi permintaan, yang menggamangkan dunia di tepi pengangguran masal.
Ketakutan-ketakutan semacam ini didasarkan pada pandangan getir tentang fitrah manusia, yang menyatakan bahwa kelak hanya sedikit saja orang yang memiliki kualitas yang ”dibutuhkan” masyarakat. Saya senang melaporkan bahwa pandangan seperti ini sepenuhnya keliru. Gagasan bahwa krisis pengangguran kolosal sudah menunggu kita di pengkolan mulai populer pada pertengahan 1970-an, dan sejak itu produksi telah menjadi lebih efisien dan menginternasional daripada sebelumnya. Namun demikian, pekerjaan-pekerjaan baru semakin bermunculan di seluruh penjuru dunia, alih-alih melenyap. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, jumlah penduduk dunia yang mempunyai pekerjaan layak, telah meningkat hingga 800 juta.
Produksi kita sekarang lebih efisien dibandingkan sebelumnya, tetapi jumlah orang yang bekerja juga semakin meningkat. Antara 1975-1998, lapangan kerja di AS, Kanada, dan Australia meningkat sebesar 50 persen, dan di Jepang 25 persen. Di Uni Eropa, yang tingkat penganggurannya meningkat lebih tajam dibandingkan di tempat-tempat lain, semakin banyak orang memeroleh pekerjaan dalam
periode tersebut, dan ini terjadi di hampir semua negara. Swedia, Finlandia, dan Spanyol merupakan pengecualian, tetapi di negara-negara ini tingkat partisipasi kerja telah meningkat sejak 1998.
Menarik juga untuk disimak bahwa di negara dengan perekonomian paling menginternasionalisasi, yakni yang paling memanfaatkan teknologi modern, lapangan kerja telah meningkat paling pesat. Amerika Serikat adalah contoh paling jelas. Antara 1983- 1995 di AS sebanyak 24 juta peluang kerja tambahan berhasil diciptakan, jauh lebih banyak daripada lapangan kerja yang lenyap. Dan lapangan kerja baru tersebut bukanlah jenis yang menawarkan upah rendah, ataupun yang tidak membutuhkan keterampilan-seperti yang sering dituduhkan.
Sebaliknya, 70 persen pekerjaan baru tersebut menawarkan gaji melebihi tingkat median di AS. Hampir separuh dari pekerjaan tersebut menuntut keterampilan tinggi, dan proporsi ini telah meningkat dengan lebih pesat semenjak 1955. Jadi tuduhan bahwa kemajuan proses produksi akan membutuhkan semakin sedikit orang tidak memiliki landasan empiris. Dan ini tidaklah mengherankan, sebab mereka juga salah dalam hal teori. Tidaklah benar bahwa yang akan tersisa adalah sejumlah tertentu pekerjaan saja; tidaklah benar bahwa, ketika sejumlah pekerjaan yang tersisa ini dapat dilakukan oleh semakin sedikit orang, akan semakin banyak orang menganggur. Mari kita bayangkan sebuah perekonomian pra-industri, ketika sebagian terbesar hasil pendapatan masyarakat dibelanjakan untuk makanan.
Sebaliknya, 70 persen pekerjaan baru tersebut menawarkan gaji melebihi tingkat median di AS. Hampir separuh dari pekerjaan tersebut menuntut keterampilan tinggi, dan proporsi ini telah meningkat dengan lebih pesat semenjak 1955. Jadi tuduhan bahwa kemajuan proses produksi akan membutuhkan semakin sedikit orang tidak memiliki landasan empiris. Dan ini tidaklah mengherankan, sebab mereka juga salah dalam hal teori. Tidaklah benar bahwa yang akan tersisa adalah sejumlah tertentu pekerjaan saja; tidaklah benar bahwa, ketika sejumlah pekerjaan yang tersisa ini dapat dilakukan oleh semakin sedikit orang, akan semakin banyak orang menganggur. Mari kita bayangkan sebuah perekonomian pra-industri, ketika sebagian terbesar hasil pendapatan masyarakat dibelanjakan untuk makanan.
Kemudian proses produksi makanan menjadi lebih baik melalui teknologi; mesin mulai menggarap pekerjaan banyak petani, dan persaingan dengan negara asing meningkatkan efisiensi pertanian. Hasilnya, banyak orang harus meninggalkan sektor pertanian. Apakah ini berarti bahwa tidak ada yang dapat dilakukan orang-orang tersebut, bahwa konsumsi orang tetap konstan? Tidak, karena hal itu juga berarti munculnya cakupan konsumsi yang lebih besar. Uang yang dulunya digunakan untuk membayar tenaga kerja pertanian sekarang dapat dimanfaatkan untuk membeli komoditas lain seperti sandang, buku-buku, dan barang-barang industri yang lebih baik.
Orang yang tidak dibutuhkan lagi di bidang pertanian dapat beralih ke bidang-bidang usaha lain yang menghasilkan sandang, buku, dan barang industri tersebut. Ini bukan semata tebakan; hal tersebut di atas menggambarkan apa yang benar-benar terjadi di Swedia dengan peningkatan efisiensi pertaniannya sejak awal abad ke-19 dan seterusnya. Sebelumnya, sekitar 80 persen populasi Swedia bekerja di bidang pertanian. Sekarang, proporsinya kurang dari 3 persen. Tetapi apakah ini berarti 77 persen populasi Swedia sekarang menganggur? Tidak, sebab orang mulai membutuhkan barang-barang lain dan layanan yang lebih baik, dan tenaga kerja beralih ke dunia industri dan jasa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dengan bekerja secara efisien, kita mendapatkan sumber daya dalam jumlah total yang lebih besar yang dapat kita gunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Tenaga kerja yang dulu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan kita, kini dapat memenuhi kebutuhan sandang kita dan menyediakan perumahan yang lebih baik, hiburan, layanan wisata, koran, telepon, dan komputer, sehingga menaikkan standar hidup kita.
Orang yang tidak dibutuhkan lagi di bidang pertanian dapat beralih ke bidang-bidang usaha lain yang menghasilkan sandang, buku, dan barang industri tersebut. Ini bukan semata tebakan; hal tersebut di atas menggambarkan apa yang benar-benar terjadi di Swedia dengan peningkatan efisiensi pertaniannya sejak awal abad ke-19 dan seterusnya. Sebelumnya, sekitar 80 persen populasi Swedia bekerja di bidang pertanian. Sekarang, proporsinya kurang dari 3 persen. Tetapi apakah ini berarti 77 persen populasi Swedia sekarang menganggur? Tidak, sebab orang mulai membutuhkan barang-barang lain dan layanan yang lebih baik, dan tenaga kerja beralih ke dunia industri dan jasa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dengan bekerja secara efisien, kita mendapatkan sumber daya dalam jumlah total yang lebih besar yang dapat kita gunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Tenaga kerja yang dulu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan kita, kini dapat memenuhi kebutuhan sandang kita dan menyediakan perumahan yang lebih baik, hiburan, layanan wisata, koran, telepon, dan komputer, sehingga menaikkan standar hidup kita.
Gagasan bahwa kuantitas pekerjaan itu konstan, bahwa pekerjaan yang diperoleh seseorang selalu diambil dari pekerjaan orang lain, telah menimbulkan beragam tanggapan. Dia telah menyebabkan sebagian orang menganggap bahwa pekerjaan harus dibagi-bagi; sebagian menganjurkan agar mesin-mesin dihancurkan; dan banyak yang menganjurkan agar bea masuk dinaikkan dan imigran didepak keluar. Semua pandangan ini salah. Buku Greider yang ruwet dan sepertinya amat serius itu telah berpengaruh sangat besar bagi aktivis-aktivis anti-globalisasi.
Namun, semua prediksi yang rawan dalam buku tersebut didasari pada satu kekeliruan sederhana, yang oleh ekonom asal Princeton, Paul Krugman, dalam ulasannya yang sangat tajam terhadap buku itu disebut sebagai ”kesesatan pikiran yang transparan”. Dan Greider bukan satu-satunya yang membuat kesalahan semacam itu. Susan George, wakil ketua organisasi anti-globalisasi Prancis, ATTAC, mendeklarasikan bahwa globalisasi dan penanaman modal internasional teramat jarang menciptakan lahan kerja baru:
Tetapi proses inilah—pekerjaan yang dilakukan secara lebih efisien, yang memungkinkan terciptanya lapangan kerja baru yang memungkinkan tumbuhnya industri baru dan menyediakan lapangan kerja baru dan lebih baik. Di sini mungkin muncul pertanyaan yang masuk akal: ”Apakah proses itu tidak akan pernah berakhir? Apa yang akan terjadi bila semua kebutuhan kita terpenuhi oleh sejumlah kecil tenaga kerja?” Dan kapan, saya jadi penasaran, hal itu mungkin akan terjadi? Saya yakin bahwa orang akan selalu, misalnya, membutuhkan keamanan, kesenangan, dan hiburan. Saya yakin kita tidak akan pernah sampai kepada pemikiran bahwa kita telah memberikan anak-anak kita pendidikan yang cukup, bahwa kita telah memiliki pengetahuan yang cukup, bahwa kita telah cukup melakukan penelitian, bahwa kita telah memiliki cukup obat-obatan untuk segala penyakit dan penderitaan yang kita alami. Tampaknya sulit untuk melihat batasan kualitas rumah yang kita inginkan, mutu makanan yang kita inginkan, keinginan kita untuk melakukan perjalanan wisata, atau mutu hiburan yang ingin kita nikmati.
"Tidak semua yang disebut investasi itu menciptakan lapangan kerja baru. Delapan dari sepuluh penanaman modal di dunia dalam lima tahun terakhir berkaitan dengan penggabungan usaha dan pengambilalihan, dan hal-hal seperti itu umumnya menyebabkan hilangnya lapangan kerja".
Tetapi proses inilah—pekerjaan yang dilakukan secara lebih efisien, yang memungkinkan terciptanya lapangan kerja baru yang memungkinkan tumbuhnya industri baru dan menyediakan lapangan kerja baru dan lebih baik. Di sini mungkin muncul pertanyaan yang masuk akal: ”Apakah proses itu tidak akan pernah berakhir? Apa yang akan terjadi bila semua kebutuhan kita terpenuhi oleh sejumlah kecil tenaga kerja?” Dan kapan, saya jadi penasaran, hal itu mungkin akan terjadi? Saya yakin bahwa orang akan selalu, misalnya, membutuhkan keamanan, kesenangan, dan hiburan. Saya yakin kita tidak akan pernah sampai kepada pemikiran bahwa kita telah memberikan anak-anak kita pendidikan yang cukup, bahwa kita telah memiliki pengetahuan yang cukup, bahwa kita telah cukup melakukan penelitian, bahwa kita telah memiliki cukup obat-obatan untuk segala penyakit dan penderitaan yang kita alami. Tampaknya sulit untuk melihat batasan kualitas rumah yang kita inginkan, mutu makanan yang kita inginkan, keinginan kita untuk melakukan perjalanan wisata, atau mutu hiburan yang ingin kita nikmati.
Ketika kemampuan produksi kita meningkat, kita akan selalu memilih memuaskan kebutuhan baru, atau memuaskan kebutuhan lama dengan lebih baik dari sebelumnya. Jika kita merasa sudah memiliki semua yang kita inginkan, sebagai gantinya kita dapat meminta waktu luang yang lebih banyak. Tanyakan pada diri Anda sendiri, apa betul Anda tidak sanggup membayangkan dua jenis pekerjaan purna-waktu yang dapat dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan Anda terhadap barang atau jasa. Menurut saya, mencari uang untuk membayar orang tersebut justru lebih sulit. Jika Anda, saya dan semua orang lainnya dapat membayangkan hal-hal yang dapat dilakukan dua orang tersebut untuk kita, maka kita akan mengalami kekurangan tenaga kerja secara permanen; bayangkan saja ketika 6 miliar orang membutuhkan paling sedikit 12 miliar pekerja. Inilah alasan mengapa kita tidak akan pernah memiliki tenaga kerja yang terlalu banyak, tak peduli sekaya apapun kita atau seefisien apapun produksi kita.
Efisiensi, tentu saja, mempunyai sisi negatif. Ekonom Joseph Schumpeter membuat deskripsinya yang terkenal tentang pasar dinamis sebagai proses ”perusakan kreatif” (“creative destruction”), sebab dia berkenaan dengan “perusakan” terhadap solusi dan industri lama, tetapi dengan tujuan yang kreatif, yaitu transfer tenaga manusia dan modal kepada pekerjaan yang lebih produktif. Ini memberikan kita standar hidup yang lebih tinggi, tetapi sebagaimana konotasi istilah ”perusakan,” tidak semua orang memeroleh keuntungan dari setiap perubahan pasar dalam jangka waktu pendek. Tentu saja sangat menyakitkan bagi mereka yang telah menanamkan modal bagi solusi lama dan bagi mereka yang harus menganggur karena bergerak di bidang industri yang kurang efisien. Kusir kereta kuda menghilang dengan keberadaan mobil, produsen minyak tanah juga menghilang seiring dengan ditemukannya lampu listrik.
Efisiensi, tentu saja, mempunyai sisi negatif. Ekonom Joseph Schumpeter membuat deskripsinya yang terkenal tentang pasar dinamis sebagai proses ”perusakan kreatif” (“creative destruction”), sebab dia berkenaan dengan “perusakan” terhadap solusi dan industri lama, tetapi dengan tujuan yang kreatif, yaitu transfer tenaga manusia dan modal kepada pekerjaan yang lebih produktif. Ini memberikan kita standar hidup yang lebih tinggi, tetapi sebagaimana konotasi istilah ”perusakan,” tidak semua orang memeroleh keuntungan dari setiap perubahan pasar dalam jangka waktu pendek. Tentu saja sangat menyakitkan bagi mereka yang telah menanamkan modal bagi solusi lama dan bagi mereka yang harus menganggur karena bergerak di bidang industri yang kurang efisien. Kusir kereta kuda menghilang dengan keberadaan mobil, produsen minyak tanah juga menghilang seiring dengan ditemukannya lampu listrik.
Di era yang lebih modern, produsen mesin ketik terdepak dari bisnis seiring dengan kedatangan komputer, dan piringan hitam tersisihkan oleh CD. Perubahan yang menyakitkan seperti ini terjadi sepanjang waktu sebagai dampak dari temuan dan metode-produksi baru. Beberapa sahabat perdagangan bebas telah berusaha menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa hilangnya pekerjaan pada prinsipnya disebabkan oleh perkembangan teknis, bukan karena persaingan dengan negara lain. Premisnya memang benar sebatas penggunaannya sebagai premis, tetapi sebagai sebuah pembelaan argumen tersebut hampa, sebab persaingan yang dipicu perdagangan bebas memang membantu mempercepat penerapan teknologi baru. Perubahan seperti itu jelas menimbulkan permasalahan besar dan trauma bagi mereka yang terdampak olehnya, khususnya ketika pekerjaan baru sulit didapat.
Ketakutan akan risiko-risiko yang dilibatkan, menyebabkan para penganut ideologi konservatif tertentu menolak sistem kapitalisme sepenuhnya. Masyarakat modern berbasis ekonomi pasar memang terpapar pada berbagai risiko dan masalah baru, serta ancaman berupa hilangnya pekerjaan dengan segala implikasinya termasuk penurunan standar hidup dan harga diri. Ini jelas menimbulkan tekanan batin. Namun demikian, tekanan ini tidak sebanding dengan yang dihadapi manusia di abad-abad silam, yang mungkin berwujud sebagai ketidakmampuan dalam mendapatkan makanan sehari-hari atau kebutuhan lainnya, atau rusaknya mata pencarian akibat bencana kekeringan atau banjir. Risiko tersebut juga tidak sebanding dengan kegalauan petani Etiopia saat ini, yang bergantung pada hujan dan kesehatan ternaknya.
Cara terbodoh yang paling mungkin dilakukan untuk menghadapi masalah-masalah yang timbul akibat penyesuaian ekonomi semacam itu adalah dengan berusaha mencegah terjadinya penyesuaian itu sendiri. Tanpa ”perusakan kreatif,” kita semua akan terpaku pada standar hidup yang lebih rendah. Keseluruhan inti perdagangan dan pembangunan adalah mengarahkan sumber-sumber daya ke suatu titik yang dapat memanfaatkannya dengan cara yang paling efisien.
Peribahasa Cina mengatakan ini: ”Ketika angin perubahan mulai berhembus, sebagian orang membangun penahan angin, sedangkan yang lain membangun kincir angin.” Gagasan bahwa kita sebaiknya menghentikan perubahan saat ini sama kelirunya dengan yang mengatakan bahwa kita seharusnya menghalangi perkembangan atau kemajuan di bidang pertanian dua abad lalu demi melindungi 80 persen masyarakat yang bekerja di bidang tersebut pada waktu itu.
Banyak yang dapat kita lakukan agar perubahan dapat berlangsung semulus mungkin. Kita seharusnya tidak mempertahankan dan mendukung industri lama melalui subsidi atau bea masuk. Perusahaan dan pasar uang harus cukup bebas agar orang dapat menanamkan modalnya di industri baru. Upah harus mudah disesuaikan dan pajak harus rendah, agar orang tertarik pada sektor baru yang lebih produktif, dan pasar tenaga kerja juga harus bebas. Sekolah dan pendidikan harus cukup baik agar orang dapat memeroleh keterampilan yang dibutuhkan di bidang pekerjaan baru. Jaring pengaman sosial harus menyediakan keamanan pada masa peralihan, tanpa menghalangi
orang memasuki dunia kerja baru.
Namun demikian, masalah-masalah ini jarang tersebar dan menjadi perhatian dalam pokok berita surat kabar. Adalah hal mudah mewartakan tentang 300 orang yang kehilangan pekerjaan mereka akibat persaingan dengan Jepang. Sebaliknya, mewartakan ribuan pekerjaan baru yang tercipta karena kita mampu menggunakan sumber daya alam secara lebih efisien, tidak mudah dan kurang dramatis. Tidak mudah untuk mewartakan seberapa banyak konsumen telah diuntungkan dengan adanya pilihan yang lebih luas, mutu yang lebih baik, dan harga yang lebih rendah akibat didorong persaingan. Hampir tidak ada konsumen di dunia yang menyadari bahwa ia telah diuntungkan senilai antara $100-200 miliar dolar Amerika setiap tahun melalui langkah-langkah liberalisasi perdagangan yang telah diterapkan menyusul perundingan perdagangan Putaran Uruguai; tetapi sesungguhnya perbedaannya terlihat dalam wujud lemari es, peralatan elektronik rumah tangga, dan dalam isi dompet kita.
Peribahasa Cina mengatakan ini: ”Ketika angin perubahan mulai berhembus, sebagian orang membangun penahan angin, sedangkan yang lain membangun kincir angin.” Gagasan bahwa kita sebaiknya menghentikan perubahan saat ini sama kelirunya dengan yang mengatakan bahwa kita seharusnya menghalangi perkembangan atau kemajuan di bidang pertanian dua abad lalu demi melindungi 80 persen masyarakat yang bekerja di bidang tersebut pada waktu itu.
Banyak yang dapat kita lakukan agar perubahan dapat berlangsung semulus mungkin. Kita seharusnya tidak mempertahankan dan mendukung industri lama melalui subsidi atau bea masuk. Perusahaan dan pasar uang harus cukup bebas agar orang dapat menanamkan modalnya di industri baru. Upah harus mudah disesuaikan dan pajak harus rendah, agar orang tertarik pada sektor baru yang lebih produktif, dan pasar tenaga kerja juga harus bebas. Sekolah dan pendidikan harus cukup baik agar orang dapat memeroleh keterampilan yang dibutuhkan di bidang pekerjaan baru. Jaring pengaman sosial harus menyediakan keamanan pada masa peralihan, tanpa menghalangi
orang memasuki dunia kerja baru.
Namun demikian, masalah-masalah ini jarang tersebar dan menjadi perhatian dalam pokok berita surat kabar. Adalah hal mudah mewartakan tentang 300 orang yang kehilangan pekerjaan mereka akibat persaingan dengan Jepang. Sebaliknya, mewartakan ribuan pekerjaan baru yang tercipta karena kita mampu menggunakan sumber daya alam secara lebih efisien, tidak mudah dan kurang dramatis. Tidak mudah untuk mewartakan seberapa banyak konsumen telah diuntungkan dengan adanya pilihan yang lebih luas, mutu yang lebih baik, dan harga yang lebih rendah akibat didorong persaingan. Hampir tidak ada konsumen di dunia yang menyadari bahwa ia telah diuntungkan senilai antara $100-200 miliar dolar Amerika setiap tahun melalui langkah-langkah liberalisasi perdagangan yang telah diterapkan menyusul perundingan perdagangan Putaran Uruguai; tetapi sesungguhnya perbedaannya terlihat dalam wujud lemari es, peralatan elektronik rumah tangga, dan dalam isi dompet kita.
Biaya yang harus ditanggung oleh satu kelompok kecil pada suatu peristiwa terpisah lebih mudah terlihat dan diamati, tetapi manfaat yang meningkat secara bertahap dan dinikmati oleh hampir semua orang, merayap ke arah kita tanpa pernah kita pikirkan. Ulasan terhadap lebih dari 50 survei tentang penyesuaian pasca reformasi keterbukaan di beberapa negara yang berbeda menunjukkan dengan jelas bahwa perubahan-perubahan yang terjadi lebih ringan daripada perdebatan tentang perubahan itu sendiri. Untuk setiap dolar biaya penyesuaian diperoleh keuntungan sekitar 20 dolar dalam bentuk kesejahteraan.
Penelitian terhadap 13 kasus liberalisasi perdagangan di negara yang berbeda menunjukkan bahwa lapangan kerja di bidang industri telah meningkat pada tahun pertama setelah liberalisasi di semua, kecuali satu, negara. Salah satu alasan mengapa perubahan terasa tidak terlalu menyakitkan di negara-negara miskin adalah karena pekerjaan-lama umumnya menawarkan upah yang rendah dan lingkungan kerja yang buruk. Penduduk yang biasanya paling rawan—yang tidak pernah mengikuti pelatihan sama sekali— biasanya dapat memeroleh pekerjaan baru dengan lebih mudah dibandingkan mereka yang telah memiliki keterampilan khusus. Negara miskin memiliki keuntungan komparatif di sektor yang padat karya, yang, rata-rata, berdampak pada pesatnya kenaikan upah pekerja tersebut. Liberalisasi yang ditempuh secara meluas juga mempermurah barang-barang kebutuhan pekerja.
Sumber:
- Mauricio Rojas, Millennium Doom: Fallacies about the End of Work (London:
Social Market Foundation, 1999). - Paul Krugman, “The Accidental Theorist: All Work and No Play Makes William Greider a Dull Boy,” Slate, 24 Januari 1997.
- Susan George dalam wawancara dengan Bim Clinell, “Dom kallar oss huliganer,” Ordfront 12 (2000).
- Steven J. Matusz dan David Tarr, “Adjusting to Trade Policy Reform,” World Bank Working Paper 2142 (Washington: World Bank, 2000).
0 Response to "Kapitalisme Global : Era Globalisasi dan Pengangguran Massal"
Post a Comment